BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kenyataan menunjukkan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, di mana masing-masing mereka mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang dalam memenuhi kepentingannya itu terdapat pertentangan kehendak antara satu dengan lainnya.
Agar antara masing-masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semau hati diperlukan suatu aturan permainan hidup secara pasti mengikat dan menuntun mereka dalam bertindak. Dengan adanya aturan tersebut setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batas-batas yang layak. Aturan-aturan itulah yang disebut dengan hukum.
Untuk manusia secara keseluruhan, hukum itu telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia secara pasti. Untuk menyampaikan aturan-aturannya itu, Allah memilih mengangkat Rasul sebagai pesuruh dan utusan-Nya kepada manusia. Rasul itulah yang bertugas menyampaikan dan memberitahu hukum atau aturan-aturan tersebut kepada manusia.
Setelah Rasul diutus dan aturan-aturan tersebut telah sampai kepada manusia, maka sejak saat itu pula manusia ditaklifi untuk mematuhi segala aturan tersebut dalam segala tindakan yang mereka lakukan. Mereka dituntut untuk melakukan segala yang diperintah dan meninggalkan segala yang dilarang.
Tugas memberitahu hukum syar’i berikutnya setelah Rasul meninggal diteruskan oleh para sahabat. Kemudian, setelah periode sahabat berlalu, seterusnya para ulama tabi’in, tabi’tabi’in, dan begitu seterusnya oleh para ulama, baik fuqaha, muhaddasin, mutakallimin, dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian Hakim, Mahkum ‘Alaih dan Mahkum Fih ?
2. Bagaimana hubungan antara hakim dan mahkum ‘alaih ?
3. Sebutkan ragam-ragam hukum syari’at ?
C. Tujuan Penulisan
1. Hendaknya mahasiswa mampu memahami pengertian hakim. Mahkum fih, mahkum ‘Alaih .
2. Dapat menjelaskan hubungan antara mukallaf dengan hakim.
3. Agar mahasiswa mengetahui ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf.
D. Manfaat
1. Mengetahui pengertian Hakim, Mahhum fih dan Mahkum Alaih.
2. Mengetahui hubungan antara mukallaf dengan hakim.
3. Mengetahui Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH
1. Pengertian Hakim
Hakim mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu :
a.
Artinya :
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”.
b.
Artinya :
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan yang menyingkapkan hukum”.
Hakim (syari’) merupakan persoalan mendasar dalam pembahasan ushul fiqh, karena berkaitan dengan siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at islam, siapa yang menentukan hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu, apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu.
Menurut ulama’ ushul, hakim adalah Allah SWT. Dia adalah sang pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh manusia yang mukallaf. Oleh sebab itu, tidak ada syari’at dalam islam kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan hukum taklifi maupun hukum wadh’i.
Jadi dapat dijelaskan bahwa hakim (pembuat hukum) dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia yang menciptakan manusia di atas bumi ini dan dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat pula dipahami bahwa hakim (pembuat hukum) satu-satunya Bagi umat islam adalah Allah SWT. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT :
“Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi allah”.
Tentang kedudukan Allah SWT sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat islam. Masalahnya adalah apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenalNya melalui perantara yakni Rasul.
Mengenai pendapat ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
1. Pendapat mayoritas ulama’ Ahlussunnah mengatakan bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan Allah pada rasulNya.
Sebagai kelanjutan dari pendapat ini adalah bahwa bila tidak ada rasul yang membawa wahyu maka tidak akan ada hukum Allah SWT, dan manusiapun tidak akan ada yang mengetahuinya. Menurut paham ini seorang manusia dapat dianggap patuh atau ingkar kepada Allah, mendapat pahala atau mendapat dosa bila telah datang rasul yang membawa wahyu.
2. Kalangan ulama’ kaum mu’tazilah yang berpendapat bahwa memang Rasulullah SAW adalah manusia satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Meski demikian, seandainya rasul belum datang mengenalkan hukum Allah itu kepada manusia, ia mempunyai kemampuan mengenal hukum Allah itu.
Kedua pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasulullah sebagai pembawa hukum Allah dan Rasul sebagai orang yang berhak mengenalakan hukum Allah kepada manusia. Dengan datangnya Rasul pembawa hukum itu, maka berlakulah taklif.
2. Pengertian Mahkum Fih
Secara etimologi Mahkum Fih berarti sasaran hukum, dalam hal ini adalah perbuatan muakallaf. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan/yang di bebani dengan hukum syara’.
Pembahasan mengenai perbuatan manusia sebagai sasaran hukum harus dibedakan menjadi 2 :
1. Substansi perbuatan yang dikenai hukum.
2. Sandaran perbuatan manusia.
Dalam konteks yang pertama, Allah SWT telah menetapakan perbuatan manusia (af’al al-I’bad) yang bersifat fisik (bukan non fisik seperti keyakinan hati) sebagai sasaran hukum (al-mahkum fih).
Dalam hal ini, Al-qur’an ataupun As-sunnah, sama-sama telah membedakan antara seruan yang wajib diyakini dengan seruan yang wajib dilaksanakan. Konteks seruan yang pertama merupakan wilayah aqidah, sedangkan konteks yang kedua adalah wilayah hukum syari’at. Ini misalnya terlihat dengan jelas dalam firman Allah SWT :
“ Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepda Allah dan Rasul-Nya”. (QS. An-Nisa’. 4 : 136).
“Telah diperintahkan atas kalian untuk berperang”. (QS. Al-Baqarah. 2 : 216).
Surat An-Nisa’ 4 ayat 136 diatas adalah seruan Allah SWT kepada manusia yang dituntut untuk diyakini, sebaliknya, seruan Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah 2 ayat 216 diatas menuntut untuk di laksanakan. Dari kedua konteks seruan diatas, terlihat dengan jelas perbedaan antara seruan yang berkaitan dengan perbuatan fisik dan seruan yang berkaitan dengan keimanan. Inilah substansi perbuatan manusia yang menjadi sasaran hukum syari’at.
Syarat-syarat Mahkum fih
Allah SWT tidak akan membebani seorang hamba dengan perbuatan yang di luar batas kemampuannya. Sebab kalau Allah tetap memberikan beban seperti itu berarti Allah menganiaya terhadap hamba-Nya. Dan sikap yang seperti itu mustahil terdapat dalam dzat Allah yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana.
Ulama’ menyimpulkan tiga syarat untuk sahnya suatu perbuatan manusia ditaklifkan :
a. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapat melakukannya sesuai dengan apa yang mereka tuntut.
Oleh sebab itu, agar ayat-ayat yang mujmal (umum) dapat dilaksanakan harus ada penjelasan dari Nabi SAW. Dalam ayat misalnya, tidak menyebutkan cara pelaksnaan sholat dalam Alqur’an, untuk itu Nabi menjelaskannya dalam sabda beliau :
b. Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukallaf.
Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akalnya dan sanggup mengetahui hukum syara’ dengan sendirinya atau dengan menanyakannya kepada ornag lain yang mengetahui maka orang yang dianggap mengetahui apa yang ditaklifkan tersebut dan diberlakukan kepadanya hukum dan segala akibatnya.
c. Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi. artinya, melakukan atau meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan seoarang mukallaf tersebut. Dan syarat yang ketiga ini timbul dari 2 hal :
1. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik menurut dzatnya maupun karena hal lain. Misalnya, menyuruh sesorang terbang tanpa pesawat terbang.
2. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lain melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya, tidak dibebankan kepada seseorang agar kawannya berhenti merokok, tidakn mencuri, dan lain sebagainya, yang ditaklifkan disini hanya member nasihat, menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar.
3. Pengertian Mahkum ‘Alaih (Mukallaf)
Mahkum ‘Alaih berarti subjek hukum atau pelaku hukum. Jelasnya, yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah SWT untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah SWT tersebut. Dalam ushul fiqh, subjek hukum (mahkum ‘alaih) itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hukum. Dengan kata lain, mahkum ’alaih adalah orang mukallaf yang pebuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah SWT.
Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih
Ada 2 (dua) persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang yang mukallaf sah ditaklifi :
1. Seorang yang mukallaf mampu memahami atau mengetahui dalil-dalil tentang taklif.
Paham dan tahu itu sangat berhubungan dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan memahami. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
“ Agama itu bedasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal “.
Akal pada diri seseorang manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan fisiknya dan baru berlaku atas dirinya taklif tersebut apabila akal telah mencapai tingkat yang sempurna. Seseorang akan mencapai tingkat kesempurnaan akal apabila telah mencapai batas dewasa (baligh), kecuali apabila mengalami kelainan yang menyebabkan ia terhalang dari taklif.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarat mukallaf yang petama adalah adanya seseorang tersebut sudah mencapai tingkat kedewasaan (baligh) dan berakal. Sebaliknya orang yang belum mencapai tingkat tersebut maka belum terkena tuntutan hukum taklif. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
“ Diangkatkan (dihilangkan) qolam (tuntunan) dari 3 orang yaitu dari anak-anak samapai ia dewasa, dari orang yang tidur sampai ia terjaga, dari orang gila sampai ia sembuh “.
2. Seorang mukallaf mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul fiqh dinamakan ahlu al taklif.
Kecakapan menerima taklif (Al ahliyyah) adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada 2 macam, yaitu kepantasan untuk di kenai hukum (ahliyyatul wujub) dn kepantasan untuk menjalankan hukum (ahliyyatul ada’).
Kecakapan untuk dikenai hukum (ahliyyatul wujub) yaitu kepantasan seseorang manusia untuk menrima hak-hak dan dikenai kewajiban.
Para Ahli Ushul Fiqh membagi ahliyyatul wujub pada 2 tingkatan :
a. Ahliyyah al-wujub naqisoh atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.
Contoh kecakapan untuk menrima hak, tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya, bayi itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meski ia belum lahir. Realisasi dari hak itu berlaku setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan itu tidak dibebani kewajiban apa-apa karena secara jelas ia belum bernama manusia.
Contoh kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hak adalah orang yang telah mati tapi masih meninggalkan hutang, dengan kematiannya itu .ia tidak akan mendapatkan hak apa-apa lagi, tetapi masih dikenakan kewajiban untuk membayar hutang.
b. Ahliyyah al-wujub kamilah atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak.
Contohnya adalah anak yang baru lahir, disamping ia berhak menerima harta warisan, ia juga telah dikenai kewajiban seperti membayar zakat fitrah yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua/wali bayi tersebut.
Kecakapan untuk menjalankan hukum (ahliyyatul ada’) yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum.
Kecakapan berbuat hukum (ahliyyatul ada’) terdiri dari tiga tingkat, setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur manusia. Ketiga tingkat tersebut adalah :
1. Adim al ahliyyah atau tidak cakap sama sekali yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyis sekitar umur 7 tahun.
2. Ahliyyah al ada’ naqisoh atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyis (kira-kira umur 7 tahun) smpai batas dewasa.
3. Ahliyyah al ada’ kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
B. LOGIKA HUBUNGAN ANTARA HAKIM DENGAN MUKALLAF
Hubungan antara hakim dengan mukallaf adalah bahwa hakim adalah sang pembuat hukum sedangkan mukallaf adalah subjek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya hakim maka mukallaf tidak akan nyata, dan apabila orang mukallaf melakukan suatu pelanggaran baik berkaitan dengan Allah (hakim) langsung atau berkaitan dengan sesama mukallaf maka yang menghukumi adalah hakim.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya hakim, mukallaf maupun mahkum fih merupakan beberapa bagian atau komponen dari mabahitsul ahkam dalam ilmu ushul fiqih. Yang mana dari seluruh komponen mabahitsul ahkam yang terdiri dari hakim, hukum, mahkum fih, dan mahkum alaih tersebut saling berkaitan satu sama lain. Dan empat komponen inilah yang nantinya dapat menciptakan dan menjadikan terlaksananya hukum syar’i secara sempurna.
C. RAGAM-RAGAM HUKUM YANG DITENTUKAN KEPADA MUKALLAF
Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf sesuai dengan hukum syar’i dibagi menjadi 2 :
1. Hukum yang berbentuk tuntutan dan pilihan yang disebut hukum Taklifi. Dimana hukum taklifi itu ada 5 macam :
a. Wajib, yaitu segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa apabila meninggalkannya. Misalnya : Mengerjakan sholat.
b. Haram, yaitu segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang melakukannya akan disiksa, dan yang meninggalkannya diberi pahala. Misalnya : Mencuri, membunuh.
c. Mandub (Sunat), yaitu segala perbuatan yang dilakukan akan mendapat pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan dosa atau siksa. Misalnya: Melaksanakan sholat sunat.
d. Makruh, yaitu perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa. Misalnya : Merokok.
e. Mubah, yaitu segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Misalnya: Melakukan perburuan sesudah melakukan tahalul dalam ibadah haji.
2. Hukum yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu yang disebut dengan hukum Wadh’i. Ulama’ membagi hukum wadh’i ini kepada : sebab, syarat, mani’. Namun sebagian ulama’ memasukkan sah dan batal, ‘azimah serta rukhshah.
a. Sebab, yaitu segala sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi. MIsalnya : Tenggelamnya matahari disebut sebab bagi hukum taklifi yaitu kewajiban mengerjakan sholat magrib.
b. Syarat, yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi. Misalnya : Cukupnya ukuran nisab pada harta menjadi syarat adanya kewajiban zakat.
c. Mani’, yaitu sesuatu yang dijadikan pembuat hukum sebagai penghalang berlangsungnya hukum taklifi. Misalnya : Keadaan berhaidnya seorang wanita menyebabkan tidak berlakunya sholat dan puasa.
d. Shah, yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari mani’. Misalnya : Sholat dzuhur telah dilakukan setelah tergelincir matahari, setelah melakukan wudhu’ dan tidak dalam keadaan haid dan halangan lainnya.
e. Bathal, yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat, atu terpenuhi keduanya tetapi terdapat mani’. Misalnya : Sholat magrib sebelum tergelincir matahari, atau tidak memakai wudhu’.
f. ‘Azimah, yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang keadaan mukallaf yang melaksanakannya. Misalnya : Haramnya bangkai untuk semua umat Islam dalam keadaan apapun.
g. Rukhshah, yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena keadaan tertentu. Misalnya : Bolehnya seseorang dalam keadaan darurat memakan bangkai.
BAB III
ANALISIS
Makalah ini membahas tentang “ Hakim, Mahkum Fih, Mahkum ‘Alaih, dan Logika Hubungan antara Hakim dan Mukallaf serta Ragam-ragam Hukum yang ditentukan kepada Mukallaf”. Dimana makalah ini memaparkan bahwa Hakim adalah Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum. Mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf yang dikenakan hukum. Sedangkan Mahkum ‘Alaih adalah subyek hukum yaitu mukallaf.
Adapun hubungan antara hakim dan mukallaf sangat berhubungan erat. Adanya hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih menjadikan terlaksananya hukum syar’i.
Sedangkan ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf meliputi hukum taklifi dan hukum wadh’i . Dimana hukum taklifi dibagi menjadi 5 yaitu :
1. Wajib
2. Haram
3. Sunat
4. Mubah
5. Makruh
Dan Hukum wadh’i dibagi menjadi 7 yaitu :
1. Sebab
2. Syarat
3. Mani’
4. Syah
5. Batal
6. ‘Azimah
7. Rukhshah
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hakim adalah pembuat hukum yaitu Allah.
2. Mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf yang dikenai hukum.
3. Mahkum ‘Alaih adalah Subyek yang dikenai hukum yaitu mukallaf.
4. Hubungan antara hakim dan mukallaf sangat berhubungan erat. Adanya hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih menjadikan terlaksananya hukum syar’i.
5. Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf meliputi hukum taklifi dan hukum wadh’i .
B. Saran
1. Hendaknya mahasiswa mampu memahami pengertian hakim. Mahkum fih, mahkum ‘Alaih .
2. Dapat menjelaskan hubungan antara mukallaf dengan hakim.
3. Agar mahasiswa mengetahui ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf.
4. Hendaknya mahasiswa mampu melaksanakan hukum-hukum yang telah ditentukan dengan tepat menurut syari’at Islam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bahri, M. Ag., dkk., Drs. Syamsul. 2008. Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta : Teras.
2. Hizbut Tahrir Indonesia. 2002. Menegakkan Syari’at Islam. Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia.
3. Koto, M. A., Prof. Dr. H. Alaidin. 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
4. Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir. 2000. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu.
5. Uman, dkk., Drs. Chaerul. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung : CV. Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar