Jumat, 26 Oktober 2012

puisikuu


Bisaka aku mengerti tentang dirimu
Ketika aku mengenalmu, saat itu aku mulai utuk mengerti dirimu
Ketika aku merasa dekat denganmu, aku merasa bahagia disampingmu
Tapi aku sadar bahwa aku hanya wanita yang tak seindah bunga mawar
Aku hanya wanita yang mencoba untuk menjadi bunga yang mampu mengharumkan sekitarmu
Mungkin hal itu tak mungkin ku lakukan tanpa ada dirimu
Tapi aku sadar kau terlalu sempurna buat aku mengerti dan kuraih untuk hatiku…..

puisiku


 

Kenapa harus terjadi

Malamku sepi tanpanya

Sunyi tanpa suaranya

Gelap tanpa cahayanya

Begitu perasaan hatiku saat ini

Mesti jauh tak terlihat oleh mataku

Tapi dia lebih dekat dalam hatiku…….

REAKTUALISASI PEMIKIRAN FIQIH MODERN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Syariat Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadis adalah bersifat konstan, tidak dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu. Namun interpretasi umat Islam terhadap syariat Islam dapat berubah, sesuai dengan perubahan kondisi sosio historis, mobilitas sosial dan kemajuan zaman.
Interpretasi terhadap syariat memang sangat perlu mengingat titah Allah yang terdapat dalam Alquran yang bernilai hukum, dan sunnah Nabi saw sangat terbatas jumlahnya, sedangkan yang akan diatur dengan jumlah yang terbatas itu sangat luas cakupannya, yaitu segala sesuatu yang harus diperbuat oleh seseorang dalam kehidupannya di dunia, serta persiapannya untuk di akherat kelak, baik dalam hubungan vertikal dengan Allah mau pun dalam hubungan horisontal dengan sesama manusia dan alam sekitarnya.
Kegiatan menginterpretasikan syariat pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan doktrin syariat yang transeden ke dalam keten-tuan hukum yang dapat diaplikasikan manusia dalam kehidupan profan. Ketentuan hukum yang digali dan dirumuskan dari syariat itu biasa dikenal dengan hukum Islam, atau fiqh dalam istilah ulama klasik.
Dengan demikian, syariat sebagai jalan lurus yang dapat menuntun manusia dalam mengarungi lalu lintas kehidupan, baru akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata oleh manusia umumnya dan umat Islam khususnya, setelah dirumuskan melalui penafsiran ulama atau mujtahid. Hal ini bukan saja menyangkut problem sosial yang tidak disinggung dalam Alquran dan hadis, tetapi juga yang menyangkut ayat Alquran dan hadis yang mengandung nilai hukum. Dalm konteks inilah pemikiran dalam hukum Islam mengalami dinamika dan perkembangan selama 14 abad sejak diturunkan ke alam dunia.
Jelasnya, bahwa karena hukum Islam bertujuan untuk mengatur kepentingan manusia untuk memperoleh kemaslahatan hidupnya, maka pemikiran dalam hukum Islam senantiasa berkembang dan berjalan sesuai dengan situasi, kondisi dan gerak laju perkembangan umat Islam. Dalam hal itu perlu diketahui, bahwa dinamika perkembangan pemikiran dalam hukum Islam tidak saja mengalami kemajuan dalam setiap periodenya, namun pada waktu tertentu mengalami stagnasi dan degradasi. Dengan kata lain, perkembangan pemikiran dalam hukum Islam mengalami pasang surut dalam masing-masing periode perkembangannya. Oleh karena itu pemikiran fiqih modern perlu untuk diulas, guna untuk mengetahui keselarasan dalam menentukan hukum dalam suatu perkara yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Selaras uraian di atas, para pakar telah memberikan periodesasi perkembangan pemikiran dalam hukum Islam, sesuai dengan babakan sejarah (historical background) yang dialami oleh hukum Islam.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami dapat mengambil rumusan masalah yang akan kami ulas, diantaranya yaitu :
1.       Apa pengertian reaktualisasi pemikiran fiqih modern?
2.      Bagaimana Sejarah Modernism Dalam Hukum Islam?
3.      Bagaimana pemikiran fiqih modern?
4.      Apa sajakah bentuk-bentuk fatwa kontemporer ?
C.    Tujuan Penulis
Dari beberapa hal yang dibahas diatas, tujuan yang dapat diambil oleh penulis, diantaranya yaitu :
1.      Mengetahui pengertian reaktualisasi pemikiran fiqih modern.
2.      Menjelaskan Sejarah Modernism Dalam Hukum Islam.
3.      Menjelaskan pemikiran fiqih modern.
4.      Mengetahui bentuk-bentuk fatwa kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Reaktualisasi Pemikiran Fiqih Modern
Dari sudut pandang etimologi, yang dimaksud dengan reaktualisasi adalah  re artinya kembali dan aktualisasi adalah pengaktualan, pelaksanaan hingga benar-benar ada (terwujud), perwujutannya.[1] Dan yang dimaksud dengan reaktualisasi adalah pengaktualisasian kembali (bentuk/nilai kehidupan masyarakat).[2] Sedangkan dari sudut pandang terminologi adalah proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali; penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat.[3]
Pemikiran sendiri dari sudut pandang etimologi adalah dari kata pikir yang artinya akal budi atau ingatan, dan mendapat imbuhan pe-an sehingga menjadi pemikiran yang artinya yaitu proses, perbuatan dan cara memikir.[4]
Fiqih dari sudut pandang etimologi adalah mengetahui, memahami. Sedangkan dari sudut pandang terminologi, fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang amalia (mengenai perbuatan, perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci.[5]
Modernisme sebagaimana diungkapkan Harun Nasution adalah pikiran – pikiran, aliran. Gerakan dan usaha untuk mengubah faham – faham, adat istiadat, institusi – institusi lama, disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[6]
Jadi yang dimaksud dengan reaktualisasi pemikiran fiqih modern yaitu pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat, mengenai hukum-hukum syara’ yang amalia (mengenai perbuatan, perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci yang sesuai dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
B.     Sejarah Modernisme Dalam Hukum Islam
Gema modernisasi dalam hukum islam mulai dilontarkan oleh Rifa’ah Badawi Rafi’al Tahtawi, yang popular dengan nama al- Tahtawi (1801 – 1873 M), seorang alumni al- Azhar yang pernah bertugas selama lima tahun di Paris sebagai imam para mahasiswa Mesir yang belajar di Negara tersebut. Dia mengatakan bahwa syariat harus disesuaikan dengan keadaan dan situasi modern, dan kaum ulama’ harus tahu kemajuan modern untuk dapat menafsirkan syari’at sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern.[7]
Pernyataan al – Tahtawi diatas berkonotasi bahwa para ulama’ ahli fiqh harus melakukan pengkajian komprehensif terhadap persoalan – persoalan hukum yang dihadapinya, dan itulah yang disebut ijtihad. Kemudian Abduh (1849 – 1905 M) dalam hal ini menyatakan secara tegas bahwa para ulama’ fiqh harus berijtihad dengan melakukan reinterpretasi terhadap dasar – dasar hukum, agar ketentuan – ketentuan itu dapat sesuai dengan situasi modern.
Rosyid  Ridha (1865 – 1935), menyatakan bahwa persoalan – persoalan ubudiyah harus dimurnikan , sementara soal – soal muamalah, sementara soal – soal mu’amalah  harus dikembangkan lewat kajian – kajian ijtihad agar tetap sesuai dengan dinamika kehidupan manusia.[8] Akibat seruan tersebut, pembicaraan tentang ijtihad yang semula terasa asing kini menjadi biasa. Harun Nasution bersikap skeptis karena menurutnya, ijtihad individual itu bisa dilakukan oleh para ulama’ pada saat ilmu pengetahuan dan teknologi belum semaju saat ini. Kendati para mujtahid fiqih itu muncul bersamaan dengan berkembangnya ilmu – ilmu lain didunia islam, tapi ilmu pengetahuan saat itu tidak sekompleks saat ini, karena ilmu pengetahuan telah berkembang sangat jauh, maka tidak mungkin cabang ilmu pengetahuan dapat dikuasai secara serempak.
Oleh sebab itu, Harun Nasution lebih lanjut menyatakan bahwa ijtihad saat ini harus dilakukan oleh sekelompok ilmuan dengan berbagai keahlian masing – masing yang sesuai dengan tema pembahasaannya, sehingga masalah – masalah yang dibahas dapat dianalisis dari berbagai seginya. Ijtihad semacam inilah yang biasa disebut sebagai ijtihad kolektif (jama’i), yang perlu mendapat perhatian dari lembaga – lembaga agama yang senantiasa melakukian kajian hukum islam.

C.     Pemikiran Fiqih Modern
Dalam masa modern sekarang ini seluruh umat manusia berpacu dalam segala bidang kehidupan, baik kehidupan yang bersifat duniawi maupun kehidupan yang bersifat ukhrawi. Untuk menyeimbangkan antara tujuan duniawi dan tujuan ukhrowi diperlukan adanya pengetahuan yang luas, baik pengetahuan umum maupun pengetahuan agama (Islam). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya : “ barang siapa yang menginginkan kebaikan dunia, maka carilah ilmu pengetahuan, dan barang siapa yang menginginkan kebaikan akhirat carilah ilmu pengetahuan, demikian pula barang siapa yang menginginkan kebaikan dunia dan akhirat, maka carilah ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan umum ataupun ilmu agama” (Riwayat Bukhari dan Muslim). Hadits tersebut menunjukkan kepada kita betapa pentingnya nilai ilmu pengetahuan tersebut (baik ilmu agama maupun umum) dalam kehidupan manusia.[9]
Pada zaman sekarang ini, permasalahan umat baik masalah sosial keagamaan maupun kemasyarakatan senantiasa berkembang dengan pesat, sehingga perlu adanya suatu pemikiran yang sistematis, komprehensif dan integral, agar ajaran Islam mampu menjawab tantangan zaman. Sebab permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan ini, kadang-kadang tidak ditemui jawabannya secara harfiah baik dalam al-Qur’an maupun As-sunnah.
Dengan demikian, pernyataan tentang fatwa keagamaan, baik fatwa yang bersifat lisan maupun tulisan memberikan arahan dan jawaban yang konkrit kepada masyarakat, terutama dalam menghadapi segala persoalan yang timbul (yang tentunya selalu dikaitkan dengan aspek qur’ani maupun hadits). Para mujtahid tidak diragukan lagi kredibilitas ilmu dan daya nalar mereka, sehingga secara kualittif hasil yang diusahakan sudah dapat dipertanggung jawabkan, asalkan persyaratan-persyaratan sebagai mujtahid dapat terpenuhi secara sempurna.[10]
D.    Bentuk Fatwa Kontemporer
Hakikatnya antara ijtihad dengan fatwa tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan adanya ijtihad, yang sungguh-sungguh melahirkan fatwa keagamaan. Oleh karena itu, jika membicarakan bentuk fatwa pada dasarnya analok dengan membicarakan dengan bentuk ijtihad. Dari satu sisi bentuk-bentuk fatwa kontemporer pada abad modern ini dapat dibedakan kepada dua bentuk berdasarkan asal-usul lahirnya fatwa itu, yaitu :
1.      Fatwa Kolektif
Adapun yang dimaksud dengan fatwa kolektif (al-fatwa al ijma’i) ialah fatwa yang dihasilkan oleh ijtihad sekelompok orang, tim atau panitia yang sengaja dibentuk. Pada lazimnya fatwa kolektif ini, dihasilkan melalui suatu diskusi dalam lembaga ilmiah yang terdiri atas personal yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang fiqih (pemahaman problema keagamaan) dan berbagai ilmu lainnya sebagai penunjang dalam arti syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan berijtihad.[11]
2.      Fatwa Perorangan
Fatwa perorangan ( al-fatwa al-fardi ) ialah hasil penelitian dan penelaahan individu terhadap dalil yang akan dijadikan dasar berpijak dalam perumusan suatu fatwa. Para ulama’ Islam pada umumnya mengakui bahwa hasil ijtihad individu yang menghasilkan fatwa secara individu pula, lebih banyak memberikan warna terhadap fatwa kolektif. Fatwa perorangan biasanya dilandasi studi yang lebih mendalam terhadap suatu masalah yang akan dikeluarkan fatwanya, sehingga para ulama’ berasumsi bahwa pada hakikatnya proses lahirnya fatwa kolektif itu diawali dengan kegiatan perorangan.[12]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      reaktualisasi pemikiran fiqih modern yaitu pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat, mengenai hukum-hukum syara’ yang amalia (mengenai perbuatan, perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci yang sesuai dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
2.      Sejarah modernisasi dalam hukum islam mulai dilontarkan oleh Rifa’ah Badawi Rafi’al Tahtawi, yang popular dengan nama al- Tahtawi (1801 – 1873 M), seorang alumni al- Azhar yang pernah bertugas selama lima tahun di Paris sebagai imam para mahasiswa Mesir yang belajar di Negara tersebut.
3.      Pemikiran fiqih modern dimana pada zaman sekarang ini, permasalahan umat baik masalah sosial keagamaan maupun kemasyarakatan senantiasa berkembang dengan pesat, sehingga perlu adanya suatu pemikiran yang sistematis, komprehensif dan integral, agar ajaran Islam mampu menjawab tantangan zaman. Sebab permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan ini, kadang-kadang tidak ditemui jawabannya secara harfiah baik dalam al-Qur’an maupun As-sunnah.
4.      Bentuk fatwa kontemporer ada dua, yaitu fatwa kolektif (al-fatwa al ijma’i) dan fatwa perorangan ( al-fatwa al-fardi ).
B.     Kata penutup
Sebagai akhir kata dalam makalah ini, kami mengucapkan puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami sangat menyadari bahwa didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan juga kesalahan yang butuh pembenahan, yang mungkin disebabkan oleh terbatasnya tenaga, waktu, biaya dan keterbatasan data dan pengetahuan yang kami miliki.
Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik atau saran yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini.
Akhirnya kami berharap tulisan ini dapat bermanfat bagi pembaca dan masyarakat luas, khususnya bagi mahasiswa-mahasiswi INISNU Jepara. Dan segala puji bagi Allah SWT dan sholawat serta salam atas Rosul-Nya, semoga kami selalu dalam bimbingan, lindungan dan ridho-Nya. Aminnnn…





















DAFTAR PUSTAKA
A Partanto, Pius dan  M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. 2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.  Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Djazuli. Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta : Prenada Media Group. 2005. cet. 5 .
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. 1999. cet. 5.
Abd. Fatah, Rohadi.  Analisa Fatwah Keagamaan dalam Fiqih Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1991.cet. 1.



[1] Pius A Partanto dan  M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2001), Hlm. 24.
[2] Ibid, Hlm. 662.
[4] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka,). Hlm. 768.
[5] Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta : Prenada Media Group, 2005), cet. 5 ,Hlm. 5.
[6] Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999), cet. 5, hlm. 173.
[7] Ibid, hlm. 180.
[8] Loc.cit.
[9] Rohadi Abd. Fatah,  Analisa Fatwah Keagamaan dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. 1 , Hlm. 1.
[10] Ibid, cet. 2, Hlm. 3.
[11] Ibid, Hlm. 140.
[12] Ibid, Hlm. 141.