Senin, 21 Maret 2011

tafsir

BAB 1
PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan merupakan kalamullah yang mutlak kebenarannya, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan akhirat kelak. Ajaran dan petunjuk tersebut amat dibutuhkan oleh manusia dalam mengarungi kehidupannya.
Banyak orang yang salah mengartikan akan suatu ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga orang bisa saja mengartikan berbagai ayat dalam Al-Qur’an dengan tidak melihat berbagai sumber termasuk tafris-tafsir yang sudah ada. Banyak sekali buku-buku atau tafsir-tafsir yang seharusnya kita gali untuk mengkaji berbagai ayat. Salah satunya adalah tafsri al-Maraghi juga tafsir Al-Misbah karya Quraisy Sihab.

Al-Qur’an bukanlah kitab suci yang siap pakai dalam arti berbagai konsep yang dikemukakan al-Qur’an tersebut, tidak langsung dapat dihubungkan dengan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Ajaran al-Qur’an tampil dalam sifatnya yang global, ringkas dan general sehingga untuk dapat memehami ajaran al-Qur’an tentang berbagai masalah tersebut, mau tidak mau seseorang harus melalui jalur tafsir sebagimana yang dilakukan oleh para ulama.
Salah satu pokok ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah tentang kewajiban belajar mengajar, yang dalam makalah ini akan kami bahas beberapa ayat tentang materi tersebut.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Surat al Alaq 1-4
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)
Artinya : "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (1)
Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dinyatakan bahkan Nabi SAW. datang ke gua Hira' suatu gua yang terletak di atas sebuah bukit di pinggir kota Mekah untuk berkhalwat beberapa malam. Kemudian sekembali beliau pulang mengambil bekal dari rumah istri beliau, Khadijah, datanglah jibril kepada beliau dan menyuruhnya membaca.

Nabi menjawab: "Aku tidak bisa membaca" Jibril merangkulnya sehingga Nabi merasa sesak nafas. Jibril melepaskannya; sambil berkata: "Bacalah". Nabi menjawab: "Aku tidak bisa membaca". Lalu. dirangkulnya lagi dan dilepaskannya sambil berkata: "Bacalah". Nabi menjawab: "Aku tidak bisa membaca" sehingga Nabi merasa payah, maka Jibril membacakan ayat 1 sampai ayat 5 surah Al `Alaq.
Nabi SAW. dapat membaca adalah dengan kemurahan Allah. Dia mengabulkan permintaan orang-orang yang meminta kepada-Nya, maka dengan limpahan karunia-Nya dijadikan Nabi-Nya pandai membaca. Dengan demikian hilanglah keuzuran Nabi SAW. yang beliau kemukakan kepada Jibril ketika menyuruh beliau membaca: "Saya tidak pandai membaca, karena saya seorang buta huruf yang tak pandai membaca dan menulis".
Kata iqra’ diambil kata kerja qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Beraneka ragam pendapat ahli tafsir tentang objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat wahyu-wahyu Al-Qur’an, sehingga perintah itu dalam arti bacalah wahyu-wahyu A-Qur’an ketika dia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adalah ismi rabbika sambil menilai huruf ba’ yang menyertai kata ismi adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berdzikirlah.
Syekh Abduh Halim Mahmud (mantan pemimpin tertinggi Al Azhar Mesir) yang menulis dalam bukunya, Al Qur’an Fi Syahr Al Qur’an bahwa “Dengan kalimat iqra’ bismi rabbik, AlQur’an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi “membaca” adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata iqra’ digunakan dalam arti membaca, menela’ah, menyampaikan dan sebagainya, karena objeknya bersifat umum, maka obje kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik yang merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik yang menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
(1) Al-Qur’an dan terjemahan

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَق (2)
Artinya : “Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Dalam ayat ini Allah mengungkapkan cara bagaimana ia menjadikan manusia, yaitu manusia sebagai makhluk yang mulia dijadikan Allah dari sesuatu yang melekat dan diberinya kesanggupan untuk menguasai segala sesuatu yang ada di bumi ini serta menundukkannya untuk keperluan hidupnya dengan ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Dan Dia berkuasa pula menjadikan insan kamil di antara manusia, seperti Nabi SAW. yang pandai membaca walaupun tanpa belajar.
Ayat ini dan ayat-ayat berikut memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw. dan yang diperintahkan oleh ayat-ayat yang lalu untuk membaca dengan namaNya serta demi untukNya. Dia adalah Tuhan yang telah menciptakan manusia yakni semua manusia – kecualli “Adam dan Hawwa” – dari ‘alaq segumpal darah atau sesuatu yang bergantung di dinding rahim.
Manusia adalah mahluk pertama yang disebut Allah dalam Al Qur’an melalui wahyu pertama. Bukan saja karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, atau karena segala sesuatu dalam alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingannya, tetapi juga karena kitab suci AlQur’an ditujukan kepada manusia agar menjadi pelita kehidupannya. Salah satu cara yang ditempuh oleh AlQur’an untuk mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah adalah memperkenalakan jati dirinya antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya.(2)
(2) M. Quaisy Shihab. Tafsir al-Misbah Vol 15. Jakarta. Lentera Hati. 2002. Halm 397

(3) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَ
Artinya : “Bacalah dan Tuhanmu Yang Paling Pemurah”.
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kembali Nabi-Nya untuk membaca, karena bacaan tidak dapat melekat pada diri seseorang kecuali dengan mengulang-ngulangi dan membiasakannya, maka seakan-akan perintah mengulangi bacaan itu berarti mengulang-ulangi bacaan yang dibaca dengan demikian isi bacaan itu menjadi satu dengan jiwa Nabi SAW.
Ayat tiga diatas mengulangi perintah membaca. Ulama’ berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan itu. Ada yang menyatakan bahwa perintah pertama ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad saw., sedang yang kedua kepada umatnya, atau yang pertama untuk membaca dalam sholat, sedang yang kedua diluar sholat. Pendapat ketiga menyatakan yang pertama perintah belajar, sedang yang kedua adalah perintah mengajar orang lain.

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)
Artinya : “Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”
Ayat-ayat yang lalu menegaskan kemurahan Allah SWT. Ayat diatas melanjutkan dengan memberi contoh sebagian dari kemurahannya itu dengan menyatakan bahwa : Dia yang Maha pemurah yang mengajar manusia dengan pena yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan juga yang mengajar manusia tanpa alat dan usaha dan mengajarkan mereka apa yang belum diketahui-nya.
Kemudian dengan ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia menyediakan kalam sebagai alat untuk menulis, sehingga tulisan itu menjadi penghubung antar manusia walaupun mereka berjauhan tempat. sebagaimana mereka berhubungan dengan perantaraan lisan. Kalam sebagai benda padat yang tidak dapat bergerak dijadikan alat informasi dan komunikasi, maka apakah sulitnya bagi Allah menjadi Nabi-Nya sebagai manusia pilihan-Nya bisa membaca, berorientasi dan dapat pula mengajar.

Allah menyatakan bahwa Dia menjadikan manusia dari 'Alaq lalu diajarinya berkomunikasi dengan perantaraan kalam. Pernyataan ini menyatakan bahwa manusia diciptakan dari sesuatu bahan hina dengan melalui proses, sampai kepada kesempurnaan sebagai manusia sehingga dapat mengetahui segala rahasia sesuatu, maka seakan-akan dikatakan kepada mereka, "Perhatikanlah hai manusia bahwa engkau telah berubah dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling mulia, hal mana tidak mungkin terjadi kecuali dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.

B. Surat Ali Imran ayat 190-191
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.(190), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):` Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(191)”
Sesungguhnya dalam tatanan langit dan bumi serta keindahanan perkiraaan dan keajaiban ciptaannya juga dalam silih bergantinya siang dan malam secara teratur sepanjang tahun yang dapat kita rasakan langsung pengaruhnya pada tubuh kita dan cara berfikir kita karena pengaruh panas matahari, dinginnya malam, dan pengaruhnya yang ada pada dunia flora dan fauna, dan sebagainya merupakan tanda dan bukti yang menunjukkan ke-Esa-an Allah, kesempurnaan pengetahuan dan kekuasaanNya.(3)
Dari ayat 190 bahwasanya dalam peraturan langit dan bumi dan keindahan pembuatannya, di dalam perlainan malam dan siang dan terus-menerus beriring-iringan melalui aturan yang paling baik nyata bekasnya pada tubuh dan akal kita, panas dan dingin, demikian pula pada bianatang dan tumbuh-tumbuhan, pada semuanya itu terdapat tanda-tanda dan dalil-dalil yang menunjuk kepada keesaan Allah, kesempurnaan ilmu-Nya dan kodrat-Nya, bagi sebagai orang yang berakal kuat.
Dalam ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.Adapun orang-orang yang berakal kuat itu adalah orang-orang yang memperhatikan langit dan bumi serta isinya, lalu mengingat dalam segala keadaannya, berdiri, duduk, berbaring akan Allah, akan nikmat-Nya, akan keutamaan-Nya atas alam semesta.
Dalam ayat ini dapat kita mengambil kesimpulan, bahwa kemenangan dan keberuntungan hanyalah dengan mengingat kebesaran Allah serta memikiri segala makhluk-Nya yang menunjuk kepada ada khalik yang Esa yang mempunyai ilmu dan kodrat yang diiringi oleh iman akan Rasul dan akan kitab.
(3) Tafsir Al Maraghi 4. Ahmad Mustafa Al-Maraghi.1993. Semarang: CV Toha Putra

C. Surat At Taubat ayat 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Dalam ayat ini, Allah swt. menerangkan bahwa tidak perlu semua orang mukmin berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.

Orang-orang yang berjuang di bidang pengetahuan, oleh agama Islam disamakan nilainya dengan orang-orang yang berjuang di medan perang. Dalam hal ini Rasulullah saw. Telah bersabda yang artinya :” Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang)”.

Tugas ulama umat Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut adalah merupakan tugas umat dan tugas setiap pribadi muslim sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah saw. Telah bersabda yang artinya : “Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) daripadaku walaupun hanya satu ayat Alquran saja”.
Akan tetapi tentu saja tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk bertekun menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sebagiannya sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islam dengan cara atau metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula.

Apabila umat Islam telah memahami ajaran-ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat.

D. Surat Al Ankabut ayat 19-20
أَوَلَمْ يَرَوْا كَيْفَ يُبْدِئُ اللَّهُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (19)

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (20)
Artinya : “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(19) Katakanlah:` Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(20)”
Sebagian ulama memandang ayat ini ditujukan kepada penduduk Mekah yang masih tidak mau beriman kepada Rasulullah. Tetapi jumhur mufassirin berpendapat bahwa ayat ini masih merupakan rangkaian dari peringatan Nabi Ibrahim as kepada kaumnya. Di sini Allah menegaskan bilamana orang-orang kafir masih tidak juga percaya kepada Allah Yang Maha Esa menurut apa yang disampaikan oleh para Rasul-Nya, maka mereka diajak untuk melihat dan memikirkan tentang proses kejadian diri mereka sendiri sejak dari permulaan sampai akhir.
Allah SWT berfirman, menceritakan kisah Nabi Ibrahim a.s. bahwa Ibrahim memberi petunjuk kepada kaumnya untuk membuktikan adanya hari bangkit yang mereka ingkari melalui apa yang mereka saksikan dalam diri mereka sendiri. Yaitu bahwa Allah SWT menciptakan yang pada sebelumnya mereka bukanlah sesuatu yang disebut – sebut ( yakni tiada ). Kemudian mereka ada dan menjadi manusia yang dapat mendengar dan melihat. Maka Tuhan yang memulai penciptaan itu mampu mengembalikannya menjadi hidup kembali, dan sesungguhnya mengembalikan itu mudah dan ringan bagi-Nya.
Kemudian Ibrahim memberi mereka petunjuk akan hal tersebut melalui segala sesuatu yang mereka saksikan di cakrawala, berupa berbagai macam tanda – tanda kekuasaan Allah yang telah menciptakan-Nya. Yaitu langit dan bintang – bintang yang ada padanya, baik yang bersinar maupun yang tetap beredar. Juga bumi serta lembah – lembah, gunung – gunung yang ada padanya, dan tanah datar yang terbuka dan hutan – hutan, serta pepohonan dan buah – buahan, sungai – sungai dan lautan, semua itu menunjukkan statusnya sebagai makhluk, juga menunjukkan adanya yang menciptakannya, yang mengadakannya serta memilih segalanya.(4)
(4) Al – Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung. Sinar Baru Algensindo. 2004, hlm.245.
Perintah berjalan kemudian dirangkai dengan perintah melihat seperti firman-Nya ( siiru fi al-ardhi fandhuru ) ditemukan dalam al Qur’an sebanyak tujuh kali, ini mengisyaratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan wisata ziarah. Dengan perjalan itu manusia dapat memperoleh suatu pelajaran dan pengetahuan dalam jiwanya yang menjadikannya menjadi manusia terdidik dan terbina, seperti dia menemui orang-orang terkemuka sehingga dapat memperoleh manfaat dari pertemuannya dan yang lebih terpenting lagi ia dapat menyaksikan aneka ragam ciptaan Allah.(5)
(5) M. Quaisy Shihab. Tafsir al-Misbah Vol 15. Jakarta. Lentera Hati. 2002. hlm. 468.
Dengan melakukan perjalanan di bumi seperti yang telah diperintahkan dalam ayat ini, seseorang akan menemukan banyak pelajaran yang berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam maupaun dari peninggalan – peninggalan lama yang masih tersisa puing – puingnya.
Ayat di atas adalah pengarahan Allah untuk melakukan riset tentang asal usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti.
Sebagai tambahan perjuangan mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewjiban bagi setiap muslim baik bagi laki-laki maupun wanita. Menurut Nabi , tinta para pelajar nilainya setara dengan darah para syuhada’ pada hari pembalasan.dengan demikian, para pelaku dalam proses belajar mengajar, yaitu guru dan murid dipandang sebagai ‘‘ orang-orang terpilih’’ dalam masyarakat yang telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan mereka.


BAB III
PENUTUP
Surat al-Alaq ayat 1-5, menurut Tafsir al-Qathan, ayat ini mengisyaratkan tentang ajakan serta kewajiban bagi umat Islam untuk belajar membaca dalam maknanya yang luas, menulis dan mengkaji tentang ilmu. Dan pada hal-hal tersebutlah terdapat syiar Islam. Dalam tafsir itu juga dijelaskan bahwa manusia yang pada awalnya sangat hina hanya berupa alaq, darah kental yang menggantung pada rahim akan memiliki derajat yang tinggi dengan adanya proses belajar dan megajar. Dengan proses belajar mengajar itulah manusia akan mendapatkan ilmu yang akan merubah manusia dari kedhaliman, menuju cahaya kehidupan. Ilmu yang dimaksud itu bukan terbatas pada ilmu keakhiratan belaka. Beliau al-Qaththan menjelaskan bahwa ilmu yang dijunjung tinggi oleh Islam adalah mencakup seluruh bidang dan cabang-cabangnya. Sehingga dengan ilmu yang semacam itu umat Islam dapat berperan dalam membangun peradabn dunia. Beliau juga mengkritik terhadap kelemahan umat Islam saat ini yang hanya menjadi pengikut yang lemah dari sebuah ilmu. Beliau menyebutnya dengan "al-Tabiin al-Khamilin". (Tafsir al-Qaththan, Juz-3 hal. 441).
surat Ali Imran 190-191, menurut Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Qur'an, mejelaskan tentang kewajiban manusia (muslim) untuk mengadakan pemikiran, perenungan maupun penelaahan kepada ayat-ayat Allah. Ayat di sini dalam arti tidak hanya ayat qauliyah saja akan tetapi juga ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Dengan pemikiran, perenungan maupun penelaahan itulah manusia akan sampai pada kesimpulan bahwa semua yang ada tidak lain adalah karena Yang Maha Kuasa, Allah swt. Dengan pemikiran dan penelaahan itulah manusia tidak akan terjebak pada sikap taqlid buta yang merugikan semua pihak. Akan tetapi manusai dapat bertindak berdasar keyakinan yang benar yang disandarkan pada ilmu yang telah diperolehnya (Al-Jami li Ahkam al-Qur'an, Juz 1, h. 1204)

Surat al-Taubah ayat 122, menjelaskan tentang kewajiban kolektif umat Islam untuk menuntut ilmu yang secara spesifik harus didalami. Tidak seyogyanya seluruh umat Islam berangkat berjihad dalam arti perang. Namun harus ada sebagian mereka yang secara khusus mendalami ilmu. Baik dalam ilmu agama maupun lainnya.
Surat al-Ankabut ayat 19-20, menjelaskan tentang kewajiban yang seharusnya dijalankan umat Islam untuk mengadakan perjalanan, dalam arti penelitian di muka bumi ini. Sehingga umat Islam dapat menemukan suatu kesimpulan atas penciptaan alam, hingga sejarah perjalanan manusia dan alam di masa lampau. Apa yang diperoleh dari penelaahan itu, kemudian akan dijadikan bahan refleksi dalam meniti kehidupan di dunia yang akan mengantarkannya selamat di kehidupan akhirat.

Pada pokoknya, ayat-ayat di atas mengingatkan kita akan pentingnya mencari ilmu serta juga mengamalkan ilmu karena ayat-ayat tersebut semuanya berkenaan dengan kewajiban kita atau manusia dalam belajar dan mengajar. Allah telah membuktikan kekuasaannya kepada manusia, tentunya manusia harus bisa mensyukuri dan mentafakuri akan nikmat dan ke Maha Besaran Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
(1) Al-Qur’an dan terjemahan
(2) M. Quaisy Shihab. Tafsir al-Misbah Vol 15. Jakarta. Lentera Hati. 2002. Halm 397
(3) Tafsir Al Maraghi 4. Ahmad Mustafa Al-Maraghi.1993. Semarang: CV Toha Putra
(4) Al – Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung. Sinar Baru Algensindo. 2004, hlm.245.
(5) M. Quaisy Shihab. Tafsir al-Misbah Vol 15. Jakarta. Lentera Hati. 2002. hlm. 468.

1 komentar: