Minggu, 21 April 2013

URGENSI PARADIGMA KRITIS BAGI PENDIDIKAN ISLAM




BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Dalam konteks pendidikan Islam, penggalian potensi (fitrah) telah diungkapkan dalam al-Qur’an dan kewajiban manusialah untuk mengkaji serta mengaplikasikannya dalam realitas kehidupan secara dinamis. Dengan pengertian demikian, maka pendidikan Islam harus mampu menjadi jembatan bagi dialektika antara realitas dan normativitas agama. Dalam upaya ini pendidikan Islam dituntut untuk mengajarkan ilmu kealaman dan keislaman secara integral. Disamping itu, pembelajaran kedua ilmu tersebut harus didekatkan secara krisis dengan memperhatikan problem lokal secara kontekstual.[1]
Dalam skala yang mikro, paradigma lama pendidikan Islam yang telah lama juga dijadikan sebagai praktis proses pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan, hanya memusatkan perhatiannya pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, otak kanan peserta didik serta pusat berpikir transedental, kurang ditumbuhkembangkan dan bahkan dapat dikatakan tidak pernah disinggung secara sistematis pada tataran pedagogis. Kondisi itu semua, menyebabkan pendidikan Islam hanya mampu mengasilkan orang-orang yang tahu ilmu agama tetapi tidak mampu mengaplikasikannya dalam praktis kehidupan. Output pendidikan Islam tidak mampu mandiri dalam menjalani hidup di tengah masyarakat. Dengan bekal ilmu pendidikan Islam yang dipelajari. Outcome pendidikan Islam hanya menjadi pengemis terhormat lembaga lain di lingkungan departemen tenaga kerja. Outcome pendidikan Islam masih jauh dari ideal yang dicita-citakan para tokoh pendidikan Timur khususnya Abduh dan al-Abrasyi untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa secara social (insan kamil), di samping harus memiliki jiwa keseimbangan antarmoralitas dan intelektualitas yang mandiri, kreatif, dan mempunyai kemampuan berkomunikasi global dengan lingkungan fisik, social serta kultural dalam komunikasi kehidupan.  Oleh karena itu paradigma krisis dalam pendidikan Islam merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan pendidikan Islam itu sendiri.
  1. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, kami dapat mengambil rumusan masalah yang akan kami ulas, diantaranya yaitu :
1.      Apa yang dimaksud paradigma kritis ?
2.      Bagaimana  paradigma pendidikan kritis menurut Paulo Feire ?
3.      Bagaimana urgensi paradigma kritis bagi pendidikan Islam ?
  1. Tujuan Penulisan
Dari beberapa hal yang dibahas diatas, tujuan yang dapat diambil oleh penulis, diantaranya yaitu :
1.      Untuk mengetahui paradigma kritis
2.      Untuk mengetahui paradigm pendidikan kritis menurut Paulo Feire
3.      Untuk mengidentifikasi urgensi paradigma kritis bagi pendidikan Islam






BAB II
PEMBAHASAN
  1. Pengertian Paradigma Kritis
Paradigma dalam Kamus Ilmiah Populer adalah contoh; tasrif, teladan, pedoman, dipakai untuk menunjukkan gugusan sistem pemikiran bentuk kasus dan pola pemikirannya.[2] Sedangkan kritis adalah genting, gawat akut, tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memeberikan penilaian secara mendalam, tanggap dan mampu melontarkan kritik-kritik.[3] Jadi yang dimaksud dengan paradigma kritis adalah pedoman system pemikiran yang tajam dan teliti.
 Paradigma kritis selalu diidentikkan dengan upaya menentang pernyataan atas realitas yang terjadi.  Pemaknaan ini terlahir dari sikap eksklusif yang tidak dapat menerima suatu hal di luar diri. Sehingga paradigma kritis dipahami sebagai pembelotan terhadap suatu hal yang umum. Padahal, kritis dalam konteks ini mengacu pada firman Allah Q.S al-Isra’ ayat 36, yang secara umum berarti kemampuan untuk memberdayakan akal pikiran manusia, dan dituntut untuk memiliki indepedensi, bukan berdasarkan pada pemikiran fanatic dan taklid.[4]
Paradigma kritis dalam arti luas dapat dimaknai sebagai kesadaran manusia atas potensi diri dan realitas sosial. Dengan hal tersebut akan memberikan kesadaran kepada manusia untuk bertindak responsive dan berperan aktif dalam menemukan sebuah kebenaran yang seharusnya menjadi titik tolak bagi keharmonisan hidup dan bangunan epistimologinya.
  1. Paradigma Pendidikan Kritis menurut Paulo Freire
Paulo Feire adalah salah seorang penggagas teori pendidikan kritis, sering menyebut paradigma pendidikan kritis dengan nama pendidikan humanis atau pendidikan yang membebaskan yaitu pendidikan sebagai proses pembebasan dan humanisasi, serta memandang kesadaran manusia sebagai suatu potensi dalam memandang dunia.
Pendidikan kritis menurut Paulo Freire adalah pendidikan yang menumbuhkan cinta dan keberanian. Sebagaimana yang dikatakannya bahwa pendidikan adalah tindakan cinta kasih dan karena itu juga, pendidikan adalah tindakan berani. Pendidikan tidak boleh membuat orang yang hendak melakukan analisis terhadap realitas menjadi takut. Mengajar bukanlah untuk mentransfer pengertahuan melainkan untuk menciptakan kemungkinan memproduksi atau mengkonstruksi pengetahuan.
Pendidikan kritis menurut Paulo Feire merupakan pendidikan yang memproduksi pengetahuan dengan memposisikan pendidik dan peserta didik sebagai subjek pendidikan. Pendidikan yang memposisikan pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai objek (dalam bahasa Feire pendidikan gaya bank) maka akan mengahasilkan subjek yang gagal. Hal ini karena peserta didik memproduksi pengetahuan yang diajarkan oleh pendidik, sehingga akhirnya ia terbentuk menjadi seperti sang pendidik.[5]



  1. Urgensi Paradigma Kritis bagi Pendidikan Islam
Paradigma kritis dalam perspektif pendidikan Islam lebih menekankan pada optimalisasi penggunaan akal dalam mengkaji segala ciptaan-Nya (wahyu dan alam). Ajaran Islam sangat menghargai akal sebagai anugerah Allah yang terbesar bagi manusia. Akan tetapi, ajaran tersebut terkadang dimaknai sebatas untuk merujuk pada normativitas dan pemahaman terhadap doktrin-doktrin keagamaan yang baku. Sementara itu, pengetahuan umum tidak pernah disentuh apalagi dipelajari. Sehingga tidak memberikan ruang bagi akal untuk turut berperan di dalamnya.
Pendidikan Islam merupakan sebuah sistem yang telah memiliki basis nilai sebagai landasan epistimpologi. Dimana paradigma kritis dalam pendidikan Islam  yaitu mengacu pada upaya pemberdayaan potensi yang telah dimiliki manusia melalui hubungan interaktif. Secara praktis, paradigma kritis dalam pendidikan Islam menghendaki pendidik-peserta didik untuk secara bebas berargumentasi tanpa merasa dibatasi oleh kedudukan masing-masing, dan hanya nilai atau etikalah yang menjembatani proses ini. Oleh karena itu paradigma kritis bagi pendidikan Islam sangatlah penting diantaranya yaitu :
1.      Menjadi sebuah pendekatan humanistik-tauhidik dalam proses pembelajaran yang membentuk manusia (pendidik-peserta didik) menjadi diri yang memiliki independensi akal, dengan mengacu pada nilai-nilai islami, sehingga mampu mengembangkan dan mengamalkan pengetahuan secara praktis dengan dilandasi kesadarannya secara tanggung jawab.[6]
2.      Mengupayakan kebebasan peserta didik itu sendiri untuk memiliki daya kreativitas yang termanifestasikan dalam bentuk aktivitas yang memerankan dirinya sebagai subjek dalam pencarian pengetahuan ketika proses pembelajaran berlangsung.
3.      Menggali potensi (fitrah) peserta didik untuk secara bebas merefleksikan gagasan dan mewujudkan kreativitasnya tanpa ada pembatasan yang bersifat struktural pendidik-peserta didik, dengan tetap mengacu pada tata nilai Islami.
4.      Membentuk kesadaran bersama untuk memliki perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan terbentuknya sikap yang mencerminkan akhlaq al-karimah dengan didasari nilai-nilai religiositas.[7]
Dengan demikian, paradigma kritis dalam pendidikan Islam adalah paradigma yang mampu mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan beragama yang mencakup jasmani, rohani, intelektual dan moral. Pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan aspek-aspek lahir maupun batin, aspek eksoteris maupun aspek isoteris, aspek spiritual maupun intelektual serta aspek normativitas dan historisitas (realitas). Intergrasi keseluruhan aspek tersebut akam menjadi inti bagi keseimbangan aspek kognitif (akal), afektif (iman), dan psikomotorik (amal) dalam pendidikan Islam secara praktis.[8]





BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
1.      Paradigma kritis adalah kesadaran manusia atas potensi diri dan realitas sosial. Dengan hal tersebut akan memberikan kesadaran kepada manusia untuk bertindak responsive dan berperan aktif dalam menemukan sebuah kebenaran yang seharusnya menjadi titik tolak bagi keharmonisan hidup dan bangunan epistimologinya.
2.      Pendidikan kritis menurut Paulo Freire adalah pendidikan yang menumbuhkan cinta dan keberanian.
3.      Pentingnya paradigma kritis dalam pendidikan Islam adalah paradigma yang mampu mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan beragama yang mencakup jasmani, rohani, intelektual dan moral. Pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan aspek-aspek lahir maupun batin, aspek eksoteris maupun aspek isoteris, aspek spiritual maupun intelektual serta aspek normativitas dan historisitas (realitas). Intergrasi keseluruhan aspek tersebut akam menjadi inti bagi keseimbangan aspek kognitif (akal), afektif (iman), dan psikomotorik (amal) dalam pendidikan Islam secara praktis.[9]

4.      Kata Penutup
Sebagai akhir kata dalam makalah ini, kami mengucapkan puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami sangat menyadari bahwa didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan juga kesalahan yang butuh pembenahan, yang mungkin disebabkan oleh terbatasnya tenaga, waktu, biaya dan keterbatasan data dan pengetahuan yang kami miliki.

Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik atau saran yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini.

Akhirnya kami berharap tulisan ini dapat bermanfat bagi pembaca dan masyarakat luas, khususnya bagi mahasiswa-mahasiswi INISNU Jepara. Dan segala puji bagi Allah SWT dan sholawat serta salam atas Rosul-Nya, semoga kami selalu dalam bimbingan, lindungan dan ridho-Nya. Amin…….




















DAFTAR PUSTAKA

A Partanto, Pius dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001.
Assegaf, Abdurrachman dan Suyati, Pendidikan Islam Mazhab Krisis (Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat), Yogyakarta: Gama Media, 2008.
http://thohir3.blogspot.com/2008/04/paradigma-pendidikan-kritis.html



[1] Abdurrachman Assegaf dan Suyati, Pendidikan Islam Mazhab Krisis (Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat), (Yogyakarta: Gama Media, 2008), hlm. 212.
[2] Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2001), hlm. 574.
[3] Ibid, hlm. 384-385.
[4] Abdurrachman Assegaf dan Suyati, Op. Cit, hlm. 225.
[5] http://thohir3.blogspot.com/2008/04/paradigma-pendidikan-kritis.html

[6] Ibid, hlm. 227
[7] Ibid, hlm. 229.
[8] Ibid, hlm. 236.
[9] Ibid, hlm. 236.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar