BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat
Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadis adalah bersifat konstan, tidak
dipengaruhi oleh dimensi ruang dan waktu. Namun interpretasi umat Islam
terhadap syariat Islam dapat berubah, sesuai dengan perubahan kondisi sosio
historis, mobilitas sosial dan kemajuan zaman.
Interpretasi
terhadap syariat memang sangat perlu mengingat titah Allah yang terdapat dalam
Alquran yang bernilai hukum, dan sunnah Nabi saw sangat terbatas jumlahnya,
sedangkan yang akan diatur dengan jumlah yang terbatas itu sangat luas
cakupannya, yaitu segala sesuatu yang harus diperbuat oleh seseorang dalam
kehidupannya di dunia, serta persiapannya untuk di akherat kelak, baik dalam
hubungan vertikal dengan Allah mau pun dalam hubungan horisontal dengan sesama
manusia dan alam sekitarnya.
Kegiatan
menginterpretasikan syariat pada dasarnya bertujuan untuk merumuskan doktrin
syariat yang transeden ke dalam keten-tuan hukum yang dapat diaplikasikan
manusia dalam kehidupan profan. Ketentuan hukum yang digali dan dirumuskan dari
syariat itu biasa dikenal dengan hukum Islam, atau fiqh dalam istilah ulama
klasik.
Dengan demikian, syariat sebagai jalan lurus yang dapat menuntun manusia dalam mengarungi lalu lintas kehidupan, baru akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata oleh manusia umumnya dan umat Islam khususnya, setelah dirumuskan melalui penafsiran ulama atau mujtahid. Hal ini bukan saja menyangkut problem sosial yang tidak disinggung dalam Alquran dan hadis, tetapi juga yang menyangkut ayat Alquran dan hadis yang mengandung nilai hukum. Dalm konteks inilah pemikiran dalam hukum Islam mengalami dinamika dan perkembangan selama 14 abad sejak diturunkan ke alam dunia.
Dengan demikian, syariat sebagai jalan lurus yang dapat menuntun manusia dalam mengarungi lalu lintas kehidupan, baru akan dapat diterapkan dalam kehidupan nyata oleh manusia umumnya dan umat Islam khususnya, setelah dirumuskan melalui penafsiran ulama atau mujtahid. Hal ini bukan saja menyangkut problem sosial yang tidak disinggung dalam Alquran dan hadis, tetapi juga yang menyangkut ayat Alquran dan hadis yang mengandung nilai hukum. Dalm konteks inilah pemikiran dalam hukum Islam mengalami dinamika dan perkembangan selama 14 abad sejak diturunkan ke alam dunia.
Jelasnya,
bahwa karena hukum Islam bertujuan untuk mengatur kepentingan manusia untuk
memperoleh kemaslahatan hidupnya, maka pemikiran dalam hukum Islam senantiasa
berkembang dan berjalan sesuai dengan situasi, kondisi dan gerak laju
perkembangan umat Islam. Dalam hal itu perlu diketahui, bahwa dinamika
perkembangan pemikiran dalam hukum Islam tidak saja mengalami kemajuan dalam
setiap periodenya, namun pada waktu tertentu mengalami stagnasi dan degradasi.
Dengan kata lain, perkembangan pemikiran dalam hukum Islam mengalami pasang
surut dalam masing-masing periode perkembangannya. Oleh karena itu pemikiran
fiqih modern perlu untuk diulas, guna untuk mengetahui keselarasan dalam
menentukan hukum dalam suatu perkara yang disesuaikan dengan perkembangan
zaman.
Selaras
uraian di atas, para pakar telah memberikan periodesasi perkembangan pemikiran
dalam hukum Islam, sesuai dengan babakan sejarah (historical background) yang
dialami oleh hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas, kami dapat mengambil rumusan masalah yang akan kami
ulas, diantaranya yaitu :
1. Apa pengertian reaktualisasi pemikiran fiqih
modern?
2. Bagaimana
Sejarah Modernism Dalam Hukum Islam?
3. Bagaimana
pemikiran fiqih modern?
4. Apa
sajakah bentuk-bentuk fatwa kontemporer ?
C. Tujuan Penulis
Dari
beberapa hal yang dibahas diatas, tujuan yang dapat diambil oleh penulis, diantaranya
yaitu :
1. Mengetahui
pengertian reaktualisasi pemikiran fiqih modern.
2. Menjelaskan
Sejarah Modernism Dalam Hukum Islam.
3. Menjelaskan
pemikiran fiqih modern.
4. Mengetahui
bentuk-bentuk fatwa kontemporer.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Reaktualisasi Pemikiran
Fiqih Modern
Dari
sudut pandang etimologi, yang dimaksud dengan reaktualisasi adalah re artinya kembali dan aktualisasi adalah
pengaktualan, pelaksanaan hingga benar-benar ada (terwujud), perwujutannya.[1]
Dan yang dimaksud dengan reaktualisasi adalah pengaktualisasian kembali
(bentuk/nilai kehidupan masyarakat).[2] Sedangkan
dari sudut pandang terminologi adalah proses, cara, perbuatan mengaktualisasikan kembali;
penyegaran dan pembaruan nilai-nilai kehidupan masyarakat.[3]
Pemikiran
sendiri dari sudut pandang etimologi adalah dari kata pikir yang artinya akal
budi atau ingatan, dan mendapat imbuhan pe-an sehingga menjadi pemikiran yang
artinya yaitu proses, perbuatan dan cara memikir.[4]
Fiqih
dari sudut pandang etimologi adalah mengetahui, memahami. Sedangkan dari sudut
pandang terminologi, fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang amalia
(mengenai perbuatan, perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci.[5]
Modernisme
sebagaimana diungkapkan Harun Nasution adalah pikiran – pikiran, aliran.
Gerakan dan usaha untuk mengubah faham – faham, adat istiadat, institusi –
institusi lama, disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[6]
Jadi
yang dimaksud dengan reaktualisasi pemikiran fiqih modern yaitu pembaruan nilai-nilai kehidupan
masyarakat, mengenai hukum-hukum syara’ yang amalia (mengenai
perbuatan, perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci yang sesuai
dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern.
B.
Sejarah Modernisme Dalam Hukum
Islam
Gema
modernisasi dalam hukum islam mulai dilontarkan oleh Rifa’ah Badawi Rafi’al
Tahtawi, yang popular dengan nama al- Tahtawi (1801 – 1873 M), seorang alumni
al- Azhar yang pernah bertugas selama lima tahun di Paris sebagai imam para
mahasiswa Mesir yang belajar di Negara tersebut. Dia mengatakan bahwa syariat
harus disesuaikan dengan keadaan dan situasi modern, dan kaum ulama’ harus tahu
kemajuan modern untuk dapat menafsirkan syari’at sesuai dengan kebutuhan
masyarakat modern.[7]
Pernyataan
al – Tahtawi diatas berkonotasi bahwa para ulama’ ahli fiqh harus melakukan
pengkajian komprehensif terhadap persoalan – persoalan hukum yang dihadapinya,
dan itulah yang disebut ijtihad. Kemudian Abduh (1849 – 1905 M) dalam hal ini
menyatakan secara tegas bahwa para ulama’ fiqh harus berijtihad dengan
melakukan reinterpretasi terhadap dasar – dasar hukum, agar ketentuan –
ketentuan itu dapat sesuai dengan situasi modern.
Rosyid
Ridha (1865 – 1935), menyatakan bahwa
persoalan – persoalan ubudiyah harus dimurnikan , sementara soal – soal
muamalah, sementara soal – soal mu’amalah
harus dikembangkan lewat kajian – kajian ijtihad agar tetap sesuai
dengan dinamika kehidupan manusia.[8]
Akibat seruan tersebut, pembicaraan tentang ijtihad yang semula terasa asing
kini menjadi biasa. Harun Nasution bersikap skeptis karena menurutnya, ijtihad
individual itu bisa dilakukan oleh para ulama’ pada saat ilmu pengetahuan dan
teknologi belum semaju saat ini. Kendati para mujtahid fiqih itu muncul
bersamaan dengan berkembangnya ilmu – ilmu lain didunia islam, tapi ilmu
pengetahuan saat itu tidak sekompleks saat ini, karena ilmu pengetahuan telah
berkembang sangat jauh, maka tidak mungkin cabang ilmu pengetahuan dapat
dikuasai secara serempak.
Oleh
sebab itu, Harun Nasution lebih lanjut menyatakan bahwa ijtihad saat ini harus
dilakukan oleh sekelompok ilmuan dengan berbagai keahlian masing – masing yang
sesuai dengan tema pembahasaannya, sehingga masalah – masalah yang dibahas
dapat dianalisis dari berbagai seginya. Ijtihad semacam inilah yang biasa
disebut sebagai ijtihad kolektif (jama’i), yang perlu mendapat perhatian dari
lembaga – lembaga agama yang senantiasa melakukian kajian hukum islam.
C. Pemikiran Fiqih Modern
Dalam masa
modern sekarang ini seluruh umat manusia berpacu dalam segala bidang kehidupan,
baik kehidupan yang bersifat duniawi maupun kehidupan yang bersifat ukhrawi.
Untuk menyeimbangkan antara tujuan duniawi dan tujuan ukhrowi diperlukan adanya
pengetahuan yang luas, baik pengetahuan umum maupun pengetahuan agama (Islam).
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda yang artinya : “ barang siapa yang
menginginkan kebaikan dunia, maka carilah ilmu pengetahuan, dan barang siapa
yang menginginkan kebaikan akhirat carilah ilmu pengetahuan, demikian pula
barang siapa yang menginginkan kebaikan dunia dan akhirat, maka carilah ilmu
pengetahuan baik ilmu pengetahuan umum ataupun ilmu agama” (Riwayat Bukhari dan
Muslim). Hadits tersebut menunjukkan kepada kita betapa pentingnya nilai ilmu
pengetahuan tersebut (baik ilmu agama maupun umum) dalam kehidupan manusia.[9]
Pada zaman sekarang ini, permasalahan
umat baik masalah sosial keagamaan maupun kemasyarakatan senantiasa berkembang
dengan pesat, sehingga perlu adanya suatu pemikiran yang sistematis,
komprehensif dan integral, agar ajaran Islam mampu menjawab tantangan zaman.
Sebab permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan ini, kadang-kadang
tidak ditemui jawabannya secara harfiah baik dalam al-Qur’an maupun As-sunnah.
Dengan demikian, pernyataan tentang
fatwa keagamaan, baik fatwa yang bersifat lisan maupun tulisan memberikan
arahan dan jawaban yang konkrit kepada masyarakat, terutama dalam menghadapi
segala persoalan yang timbul (yang tentunya selalu dikaitkan dengan aspek
qur’ani maupun hadits). Para mujtahid tidak diragukan lagi kredibilitas ilmu
dan daya nalar mereka, sehingga secara kualittif hasil yang diusahakan sudah
dapat dipertanggung jawabkan, asalkan persyaratan-persyaratan sebagai mujtahid
dapat terpenuhi secara sempurna.[10]
D.
Bentuk Fatwa Kontemporer
Hakikatnya antara ijtihad dengan fatwa tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dengan adanya ijtihad, yang sungguh-sungguh
melahirkan fatwa keagamaan. Oleh karena itu, jika membicarakan bentuk fatwa
pada dasarnya analok dengan membicarakan dengan bentuk ijtihad. Dari satu sisi
bentuk-bentuk fatwa kontemporer pada abad modern ini dapat dibedakan kepada dua
bentuk berdasarkan asal-usul lahirnya fatwa itu, yaitu :
1.
Fatwa Kolektif
Adapun yang dimaksud dengan fatwa kolektif (al-fatwa al ijma’i) ialah fatwa yang dihasilkan oleh ijtihad
sekelompok orang, tim atau panitia yang sengaja dibentuk. Pada lazimnya fatwa
kolektif ini, dihasilkan melalui suatu diskusi dalam lembaga ilmiah yang
terdiri atas personal yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang fiqih
(pemahaman problema keagamaan) dan berbagai ilmu lainnya sebagai penunjang
dalam arti syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang yang akan
berijtihad.[11]
2.
Fatwa
Perorangan
Fatwa
perorangan ( al-fatwa al-fardi )
ialah hasil penelitian dan penelaahan individu terhadap dalil yang akan
dijadikan dasar berpijak dalam perumusan suatu fatwa. Para ulama’ Islam pada
umumnya mengakui bahwa hasil ijtihad individu yang menghasilkan fatwa secara
individu pula, lebih banyak memberikan warna terhadap fatwa kolektif. Fatwa
perorangan biasanya dilandasi studi yang lebih mendalam terhadap suatu masalah
yang akan dikeluarkan fatwanya, sehingga para ulama’ berasumsi bahwa pada
hakikatnya proses lahirnya fatwa kolektif itu diawali dengan kegiatan
perorangan.[12]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. reaktualisasi
pemikiran fiqih modern yaitu pembaruan
nilai-nilai kehidupan masyarakat, mengenai hukum-hukum syara’ yang
amalia (mengenai perbuatan, perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang
terperinci yang sesuai dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern.
2. Sejarah
modernisasi dalam hukum islam mulai dilontarkan oleh Rifa’ah Badawi Rafi’al
Tahtawi, yang popular dengan nama al- Tahtawi (1801 – 1873 M), seorang alumni
al- Azhar yang pernah bertugas selama lima tahun di Paris sebagai imam para
mahasiswa Mesir yang belajar di Negara tersebut.
3. Pemikiran
fiqih modern dimana pada zaman sekarang ini, permasalahan umat baik masalah
sosial keagamaan maupun kemasyarakatan senantiasa berkembang dengan pesat,
sehingga perlu adanya suatu pemikiran yang sistematis, komprehensif dan
integral, agar ajaran Islam mampu menjawab tantangan zaman. Sebab
permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan ini, kadang-kadang tidak
ditemui jawabannya secara harfiah baik dalam al-Qur’an maupun As-sunnah.
4. Bentuk
fatwa kontemporer ada dua, yaitu fatwa kolektif (al-fatwa al ijma’i) dan fatwa perorangan (
al-fatwa al-fardi ).
B.
Kata penutup
Sebagai akhir kata
dalam makalah ini, kami mengucapkan puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami sangat
menyadari bahwa didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan dan juga
kesalahan yang butuh pembenahan, yang mungkin disebabkan oleh terbatasnya
tenaga, waktu, biaya dan keterbatasan data dan pengetahuan yang kami miliki.
Oleh karena itu kami
mengharapkan adanya kritik atau saran yang bersifat membangun demi perbaikan
makalah ini.
Akhirnya kami
berharap tulisan ini dapat bermanfat bagi pembaca dan masyarakat luas,
khususnya bagi mahasiswa-mahasiswi INISNU Jepara. Dan segala puji bagi Allah
SWT dan sholawat serta salam atas Rosul-Nya, semoga kami selalu dalam
bimbingan, lindungan dan ridho-Nya. Aminnnn…
DAFTAR
PUSTAKA
A Partanto, Pius dan
M. Dahlan Al-Barry. Kamus Ilmiah
Populer. Surabaya: Arkola. 2001.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.
Djazuli. Ilmu
Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam. Jakarta : Prenada
Media Group. 2005. cet. 5 .
Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada. 1999. cet. 5.
Abd. Fatah, Rohadi. Analisa Fatwah Keagamaan dalam
Fiqih Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1991.cet. 1.
[1] Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2001), Hlm. 24.
[2] Ibid, Hlm. 662.
[4] Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta : Balai Pustaka,). Hlm. 768.
[5] Djazuli, Ilmu Fiqih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam,
(Jakarta : Prenada Media Group, 2005), cet. 5 ,Hlm. 5.
[6] Dede Rosyada, Hukum Islam dan
Pranata Sosial. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999), cet. 5, hlm.
173.
[7] Ibid, hlm. 180.
[8] Loc.cit.
[9] Rohadi Abd. Fatah, Analisa Fatwah Keagamaan dalam Fiqih Islam,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. 1 , Hlm. 1.
[10] Ibid, cet. 2, Hlm. 3.
[11] Ibid, Hlm. 140.
[12] Ibid, Hlm. 141.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar