BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dalam konteks pendidikan Islam,
penggalian potensi (fitrah) telah diungkapkan dalam al-Qur’an dan kewajiban
manusialah untuk mengkaji serta mengaplikasikannya dalam realitas kehidupan
secara dinamis. Dengan pengertian demikian, maka pendidikan Islam harus mampu
menjadi jembatan bagi dialektika antara realitas dan normativitas agama. Dalam
upaya ini pendidikan Islam dituntut untuk mengajarkan ilmu kealaman dan
keislaman secara integral. Disamping itu, pembelajaran kedua ilmu tersebut
harus didekatkan secara krisis dengan memperhatikan problem lokal secara
kontekstual.[1]
Dalam skala yang mikro, paradigma lama
pendidikan Islam yang telah lama juga dijadikan sebagai praktis proses
pembelajaran di hampir semua jenjang pendidikan, hanya memusatkan perhatiannya
pada kemampuan otak kiri peserta didik. Sebaliknya, otak kanan peserta didik
serta pusat berpikir transedental, kurang ditumbuhkembangkan dan bahkan dapat
dikatakan tidak pernah disinggung secara sistematis pada tataran pedagogis.
Kondisi itu semua, menyebabkan pendidikan Islam hanya mampu mengasilkan
orang-orang yang tahu ilmu agama tetapi tidak mampu mengaplikasikannya dalam
praktis kehidupan. Output pendidikan
Islam tidak mampu mandiri dalam menjalani hidup di tengah masyarakat. Dengan
bekal ilmu pendidikan Islam yang dipelajari. Outcome pendidikan Islam hanya menjadi pengemis terhormat lembaga
lain di lingkungan departemen tenaga kerja. Outcome
pendidikan Islam masih jauh dari ideal yang dicita-citakan para tokoh
pendidikan Timur khususnya Abduh dan al-Abrasyi untuk menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa secara social (insan kamil), di samping harus memiliki
jiwa keseimbangan antarmoralitas dan intelektualitas yang mandiri, kreatif, dan
mempunyai kemampuan berkomunikasi global dengan lingkungan fisik, social serta
kultural dalam komunikasi kehidupan. Oleh
karena itu paradigma krisis dalam pendidikan Islam merupakan hal yang sangat
penting bagi kemajuan pendidikan Islam itu sendiri.
- Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas, kami dapat mengambil rumusan masalah yang akan kami
ulas, diantaranya yaitu :
1. Apa
yang dimaksud paradigma kritis ?
2. Bagaimana paradigma pendidikan kritis menurut Paulo
Feire ?
3. Bagaimana
urgensi paradigma kritis bagi pendidikan Islam ?
- Tujuan Penulisan
Dari
beberapa hal yang dibahas diatas, tujuan yang dapat diambil oleh penulis,
diantaranya yaitu :
1. Untuk
mengetahui paradigma kritis
2. Untuk
mengetahui paradigm pendidikan kritis menurut Paulo Feire
3. Untuk
mengidentifikasi urgensi paradigma kritis bagi pendidikan Islam
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Paradigma Kritis
Paradigma dalam Kamus Ilmiah Populer
adalah contoh; tasrif, teladan, pedoman, dipakai untuk menunjukkan gugusan sistem
pemikiran bentuk kasus dan pola pemikirannya.[2]
Sedangkan kritis adalah genting, gawat akut, tajam/tegas dan teliti dalam
menanggapi atau memeberikan penilaian secara mendalam, tanggap dan mampu
melontarkan kritik-kritik.[3]
Jadi yang dimaksud dengan paradigma kritis adalah pedoman system pemikiran yang
tajam dan teliti.
Paradigma
kritis selalu diidentikkan dengan upaya menentang pernyataan atas realitas yang
terjadi. Pemaknaan ini terlahir dari
sikap eksklusif yang tidak dapat menerima suatu hal di luar diri. Sehingga
paradigma kritis dipahami sebagai pembelotan terhadap suatu hal yang umum.
Padahal, kritis dalam konteks ini mengacu pada firman Allah Q.S al-Isra’ ayat
36, yang secara umum berarti kemampuan untuk memberdayakan akal pikiran
manusia, dan dituntut untuk memiliki indepedensi, bukan berdasarkan pada
pemikiran fanatic dan taklid.[4]
Paradigma kritis dalam arti luas dapat
dimaknai sebagai kesadaran manusia atas potensi diri dan realitas sosial.
Dengan hal tersebut akan memberikan kesadaran kepada manusia untuk bertindak
responsive dan berperan aktif dalam menemukan sebuah kebenaran yang seharusnya
menjadi titik tolak bagi keharmonisan hidup dan bangunan epistimologinya.
- Paradigma Pendidikan Kritis menurut Paulo Freire
Paulo Feire adalah salah seorang
penggagas teori pendidikan kritis, sering menyebut paradigma pendidikan kritis
dengan nama pendidikan humanis atau pendidikan yang membebaskan yaitu
pendidikan sebagai proses pembebasan dan humanisasi, serta memandang kesadaran
manusia sebagai suatu potensi dalam memandang dunia.
Pendidikan kritis menurut Paulo Freire
adalah pendidikan yang menumbuhkan cinta dan keberanian. Sebagaimana yang
dikatakannya bahwa pendidikan adalah tindakan cinta kasih dan karena itu juga,
pendidikan adalah tindakan berani. Pendidikan tidak boleh membuat orang yang
hendak melakukan analisis terhadap realitas menjadi takut. Mengajar bukanlah
untuk mentransfer pengertahuan melainkan untuk menciptakan kemungkinan
memproduksi atau mengkonstruksi pengetahuan.
Pendidikan kritis menurut Paulo Feire
merupakan pendidikan yang memproduksi pengetahuan dengan memposisikan pendidik
dan peserta didik sebagai subjek pendidikan. Pendidikan yang memposisikan
pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai objek (dalam bahasa Feire
pendidikan gaya bank) maka akan mengahasilkan subjek yang gagal. Hal ini karena
peserta didik memproduksi pengetahuan yang diajarkan oleh pendidik, sehingga
akhirnya ia terbentuk menjadi seperti sang pendidik.[5]
- Urgensi Paradigma Kritis bagi Pendidikan Islam
Paradigma kritis dalam perspektif
pendidikan Islam lebih menekankan pada optimalisasi penggunaan akal dalam
mengkaji segala ciptaan-Nya (wahyu dan alam). Ajaran Islam sangat menghargai
akal sebagai anugerah Allah yang terbesar bagi manusia. Akan tetapi, ajaran
tersebut terkadang dimaknai sebatas untuk merujuk pada normativitas dan pemahaman
terhadap doktrin-doktrin keagamaan yang baku. Sementara itu, pengetahuan umum
tidak pernah disentuh apalagi dipelajari. Sehingga tidak memberikan ruang bagi
akal untuk turut berperan di dalamnya.
Pendidikan Islam merupakan sebuah sistem
yang telah memiliki basis nilai sebagai landasan epistimpologi. Dimana
paradigma kritis dalam pendidikan Islam
yaitu mengacu pada upaya pemberdayaan potensi yang telah dimiliki
manusia melalui hubungan interaktif. Secara praktis, paradigma kritis dalam
pendidikan Islam menghendaki pendidik-peserta didik untuk secara bebas
berargumentasi tanpa merasa dibatasi oleh kedudukan masing-masing, dan hanya
nilai atau etikalah yang menjembatani proses ini. Oleh karena itu paradigma
kritis bagi pendidikan Islam sangatlah penting diantaranya yaitu :
1. Menjadi
sebuah pendekatan humanistik-tauhidik dalam proses pembelajaran yang membentuk
manusia (pendidik-peserta didik) menjadi diri yang memiliki independensi akal,
dengan mengacu pada nilai-nilai islami, sehingga mampu mengembangkan dan
mengamalkan pengetahuan secara praktis dengan dilandasi kesadarannya secara
tanggung jawab.[6]
2. Mengupayakan
kebebasan peserta didik itu sendiri untuk memiliki daya kreativitas yang
termanifestasikan dalam bentuk aktivitas yang memerankan dirinya sebagai subjek
dalam pencarian pengetahuan ketika proses pembelajaran berlangsung.
3. Menggali
potensi (fitrah) peserta didik untuk secara bebas merefleksikan gagasan dan
mewujudkan kreativitasnya tanpa ada pembatasan yang bersifat struktural
pendidik-peserta didik, dengan tetap mengacu pada tata nilai Islami.
4. Membentuk
kesadaran bersama untuk memliki perhatian terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan dan terbentuknya sikap yang mencerminkan akhlaq al-karimah dengan didasari nilai-nilai religiositas.[7]
Dengan demikian, paradigma kritis dalam
pendidikan Islam adalah paradigma yang mampu mengintegrasikan seluruh aspek
kehidupan beragama yang mencakup jasmani, rohani, intelektual dan moral.
Pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan aspek-aspek lahir maupun batin,
aspek eksoteris maupun aspek isoteris, aspek spiritual maupun intelektual serta
aspek normativitas dan historisitas (realitas). Intergrasi keseluruhan aspek
tersebut akam menjadi inti bagi keseimbangan aspek kognitif (akal), afektif
(iman), dan psikomotorik (amal) dalam pendidikan Islam secara praktis.[8]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
1. Paradigma
kritis adalah kesadaran manusia atas potensi diri dan realitas sosial. Dengan
hal tersebut akan memberikan kesadaran kepada manusia untuk bertindak
responsive dan berperan aktif dalam menemukan sebuah kebenaran yang seharusnya
menjadi titik tolak bagi keharmonisan hidup dan bangunan epistimologinya.
2. Pendidikan
kritis menurut Paulo Freire adalah pendidikan yang menumbuhkan cinta dan
keberanian.
3. Pentingnya
paradigma kritis dalam pendidikan Islam adalah paradigma yang mampu
mengintegrasikan seluruh aspek kehidupan beragama yang mencakup jasmani,
rohani, intelektual dan moral. Pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan
aspek-aspek lahir maupun batin, aspek eksoteris maupun aspek isoteris, aspek
spiritual maupun intelektual serta aspek normativitas dan historisitas
(realitas). Intergrasi keseluruhan aspek tersebut akam menjadi inti bagi
keseimbangan aspek kognitif (akal), afektif (iman), dan psikomotorik (amal)
dalam pendidikan Islam secara praktis.[9]
4. Kata Penutup
Sebagai akhir kata dalam makalah ini, kami
mengucapkan puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami
sangat menyadari bahwa didalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
dan juga kesalahan yang butuh pembenahan, yang mungkin disebabkan oleh
terbatasnya tenaga, waktu, biaya dan keterbatasan data dan pengetahuan yang
kami miliki.
Oleh karena itu kami mengharapkan adanya kritik atau
saran yang bersifat membangun demi perbaikan makalah ini.
Akhirnya kami berharap tulisan ini dapat bermanfat
bagi pembaca dan masyarakat luas, khususnya bagi mahasiswa-mahasiswi INISNU
Jepara. Dan segala puji bagi Allah SWT dan sholawat serta salam atas Rosul-Nya,
semoga kami selalu dalam bimbingan, lindungan dan ridho-Nya. Amin…….
DAFTAR
PUSTAKA
A Partanto, Pius dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,
2001.
Assegaf, Abdurrachman dan Suyati, Pendidikan Islam Mazhab Krisis (Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan
Barat), Yogyakarta: Gama Media, 2008.
http://thohir3.blogspot.com/2008/04/paradigma-pendidikan-kritis.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar