Kamis, 21 Juni 2012

Klenik dan Fatalisme dalam Beragama

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Dalam pandangan psikologi agama, ajaran agama memuat norma-norma yang dijadikan pedoman oleh pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Norma-norma tersebut mengacu kepada pencapaian nilai-nilai luhur yang mengacu kepada pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial dalam upaya memenuhi ketaatan kepada Zat Yang Supernatural.

Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari tak jarang dijumpai adanya penyimpangan yang terjadi. Sikap keagamaan yang menyimpang terjadi bila sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan.Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per orang dan juga pada kelompok atau masyarakat.

Sikap keagamaan yang menyimpang memang sering menimbulkan permasalahan yang cukup rumit dalam setiap agama. Dimana sikap keagamaan yang menyimpang cenderung didasarkan pada motif yang bersifat emosiaonal yang lebih kuat ketimbang aspek rasional.[1]

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat ditarik sebuah rumusan masalah, diantaranya yaitu :

1. Apa yang dimaksud dengan pengertian klenik ?

2. Apa yang dimaksud dengan pengertian fatalisme ?

3. Jelaskan tentang klenik dan fatalisme dalam beragama ?

C. Tujuan Penulisan

Dalam makalah ini penulis mempunyai tujuan diantaranya yaitu :

1. Dapat mengerti tentang pengertian klenik.

2. Dapat mengerti tentang pengertian fatalism.

3. Dapat mengetahui tentang klenik dan fatalisme dalam beragama.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Klenik

Klenik dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal (KBRI,1989:409). Salah satu aspek dari ajaran agama adalah percaya terhadap kekuatan gaib. Bagi penganut agama, masalah yang berkaitan dengan hal-hal yang gaib ini umumnya diterima sebagai suatu bentuk keyakinan yang lebih bersifat emosional, ketimbang rasional.[2]

Masalah yang menyangkut sesuatu yang gaib dan nilai-nilai sakral keagamaan ini dalam kehidupan masyarakat sering pula diturunkan ke pribadi-pribadi tertentu. Proses ini menimbulkan kepercayaan bahwa seseorang dianggap memiliki kemampuan luar biasa dan dapat berhubungan dengan alam gaib.

Psikologi agama yang mempelajari hubungan sikap dan tingkah laku manusia dalam kaitan dengan agama, agaknya dapat melihat penyimpangan tingkah laku keagamaan sebagai bagian dari gejala kejiwaan.

Dalam kenyataan di masyarakat praktek yang bersifat klenik memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu :

1. Pelakunya menokohkan diri selalu orang yang suci dan umumnya tidak memiliki latar belakang yang jelas (asing).

2. Mendakwahkan diri memiliki kemampuan luar biasa dalam masalah yang berhubungan dengan hal-hal gaib.

3. Menggunakan ajaran agama sebagai alat untuk menarik kepercayaan masyarakat.

4. Kebenaran ajarannya tidak dapat dibuktikan secara rasional.

5. Memiliki tujuan tertentu yang cenderung merugikan masyarakat.[3]

Suburnya praktek ini antara lain ditopang oleh kondisi masyarakat yang umumnya awam terhadap agama namun memiliki rasa fanatisme keagamaan yang tinggi. Kondisi ini menjadikan masyarakat memiliki tingkat sugestibel yang tinggi (higly suggestible), sehingga lebih reseptif (mudah menerima) gagasan baru yang dikaitkan dengan ajaran agama.

Sugesti sendiri merupakan proses komunikasi yang menyebabkan diterima dan disadarinya suatu gagasan yang dikomunikasikan tanpa alasan-alasan yang rasional (Thouless:40), tampaknya memang sering disalahgunakan dalam kasus-kasus keagamaan, terutama oleh mereka yang memiliki tujuan-tujuan tertentu. Fanatisme keagamaan yang tidak dilatarbelakangi oleh pengetahuan keagamaan yang cukup tampaknya masih merupakan lahan subur bagi muncul dan berkembangnya aliran klenik.[4]

Faktor-faktor lain yang mendukung timbul dan berkembangnya aliran seperti ini adalah kekosongan spiritual dan penderitaan. Mereka yang memiliki kesadaran beragama yang rendah atau tidak sama sekali, umumnya jika mengalami penderitaan cenderung akan kehilangan pegangan hidup. Di saat-saat seperti ini pula mereka menjadi sangat sugestibel (mudah menerima sugesti). Oleh karena umumnya dalam kondisi yang putus asa seperti itu, praktek kebatinan seperti aliran klenik dianggap dapat menjanjikan dan merupakan tempat pelarian dalam mengatasi kemelut batin mereka.

Aliran klenik sebagai bagian dari bentuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang akan senantiasa muncul dalam setiap masyarakat, apapun latar belakang kepercayaannya. Perilaku keagamaan yang menyimpang ini umumnya menyebabkan orang menutup diri dari pergaulan dengan dunia luar. Dengan demikian mereka membentuk kelompok eksklusif, dan dalam kondisi seperti itu mereka sulit untuk didekati. Serta mereka umumnya yang terikat dalam aliran tersebut memiliki keterikatan batin yang kuat dengan pemimpin. Tak jarang atas anjuran pemimpin, mereka mampu melakukan perbuatan nekad. Kecenderungan seperti ini terkadang dapat menjelma menjadi tindakan kelompok yang ekstrim dan merugikan.

Aliran-aliran klenik ini kemudian dapat pula berkembang menjadi aliran-aliran kepercayaan dan aliran kebatinan. Dan menurut Prof. Dr. Hamka, aliran ini timbul oleh kekacauan pikiran lantaran kacaunya ekonomi, sosial dan politik, sehingga mendorong masyarakat untuk melepaskan pikirannya dari pengaruh kenyataan, lalu masuk ke dalam daerah khayalan tasawuf.[5]

B. Pengertian Fatalisme

Fatalisme dari kata dasar fatal, adalah sebuah sikap seseorang dalam menghadapi permasalahan atau hidup. Apabila paham seseorang dianggap sangat pasrah dalam segala hal, maka inilah disebut fatalisme. Dalam paham fatalisme, seseorang sudah dikuasai oleh nasib dan tidak bisa merubahnya.[6]

Beberapa Pengertian Fatalisme :

a. Doktrin bahwa segala sesuatu terjadi menurut nasib yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Doktrin ini bersifat prafilosofis :

  1. Keyakinan bahwa segala sesuatu pasti terjadi menurut caranya sendiri tanpa memperdulikan usaha kita untuk menghindari atau mencegahnya. Semua usaha kita untuk merubah nasib pasti gagal. Apa yang terjadi, pasti terjadi.
  2. Individu merupakan produk kekuatan-kekuatan predeterministis[7] yang bekerja pada alam semesta. Individu sama sekali tidak dapat mengatur tingkah laku dan nasibnya, atau nasib sejarah. Tak seorang pun dapat berbuat lain selain menerima apa adanya dan bertindak sebagaimana ditentukan.
  3. Peristiwa-peristiwa tertentu akan terjadi dalam kehidupan pada saat tertentu dan di tempat yang sebagaimana ditentukan.
  4. Dapat dikatakan, bahwa nasib seseorang telah ditetapkan dan tidak berpautan dengan pilihan-pilihan dan tindakan-tindakannya. Hari esok berada diluar kekuasaannya (today is today and tomorrow is another day). Seorang Fatalis berpikir, bahwa ia tidak dapat melakukan sesuatu pada hari esok. Apa yang akan terjadi pada hari esok, minggu depan, tahun depan atau sebentar lagi, tidak ada kaitannya dengan dia. Oleh karena itu, buat apa dan tidak ada gunanya untuk memikirkan apa yang akan dilakukan.
  5. Fatalisme juga merupakan sebuah konsepsi anti-dialektis.[8]

Menurut konsep ini segala proses di dunia, sejak awal telah ditakdirkan dan diatur oleh suatu keharusan atau keniscayaan dengan mengesampingkan kebebasan dan usaha kreatif.[9]

b. Dalam filsafat, fatalisme diberi tafsiran sebagai:

a). Kaum Stoik mengajarkan bahwa nasib yang tidak bisa ditawar-tawar menguasai alam semesta ; dan bahwa setelah kebakaran besar melanda dunia secara berulang-ulang dan periodik, segala sesuatu dimulai kembali (Start from beginning).

b). Ajaran Leibniz mengenai harmoni yang sudah ditentukan sebelumnya (pre-established harmony), interaksi antara monade-monade[10] sudah ditakdirkan oleh Allah.

c). Prinsip Schelling adalah sistim idealis-obyektif, jurang antara kebebasan dan keniscayaan meniadakan kemungkinan bagi individu-individu untuk bertindak bebas.

d). Pemikiran Hegel mempertahankan, dan pada akhirnya individu adalah semata-mata alat bagi roh mutlak.

e). Thomas Hobbes dan para materialis metafisis Perancis abad ke -18, menyangkal dan menolak kemungkinan obyektif dan menyamakan kausalitas dengan keharusan, yang juga menuju pada faham “Fatalisme”.

Kesimpulan sederhananya , faham Fatalisme adalah pemikiran dan pengertian, bahwa hidup kita diserahkan pada nasib dan tidak mungkin bisa kita dapat mengubahnya.

Sikap pasrah yang mengarah kepada fatalism dapat dikategorikan sebagai tingkah laku keagamaan yang menyimpang. Sikap seperti ini setidaknya mengabaikan fungsi dan peran akal secara normal. Padahal agama menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Dengan akal manusia mampu membangun peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam sendiri dalam ajarannya memposisikan akal mengiringi keimanan dalam menentukan derajat pemeluknya.[11] Seperti dalam Al-Qur’an (QS 58:11), yang artinya “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.

Selain dari penjelasan diatas, keterkaitan antara ilmu dan agama ini juga dilihat secara jeli oleh Albert Einstein, dimana ungkapannya yang popular yakni, “bahwa ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”.

Secara psikologi, ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi munculnya fatalism, yaitu :

1) Pemahaman yang Keliru

Sebagai manusia biasa, para agamawan memiliki latar belakang sosio-kultural, tingkat pendidikan, maupun kapasitas yang berbeda. Dalam kondisi seperti itu terbuka peluang timbulnya salah tafsir dalam memahami pesan-pesan kitab suci maupun risalah Rasul. Seperti dalam contoh yang menyangkut etos kerja. Dimana dalam salah satu hadist yaitu “Al-Dunya sijn al-mu’min wa jannah al-kafir”. Yang artinya (Dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surge bagi orang kafir). Hadist ini dipahami oleh banyak kalangan masyarakat sebagai peringatan dan wanti-wanti, bahwa orang beriman tidak perlu mengejar kehidupan dunia, karena tempatnya sudah dijanjikan surga.

Pemahaman yang demikian itu akan ikut mempengaruhi pembentukan etos kerja dan sikap pasrah. Masyarakat Muslim yang terkait dengan pemahaman yang seperti itu setidaknya akan cenderung mengendorkan kerja kerasnya dalam meningkatkan prikehidupan dunianya.[12]

2) Otoritas Agamawan

Dalam komunikasi agama selalu ada pemimpin agama atau agamawan yang jadi panutan masyarakat pemeluknya. Umumnya reputasi ketokohan dari si pemimpin agama itu lebih ditentukan oleh kuantitas pendukungnya. Bukan didasarkan oleh kualitas keberagamaannya. Makin banyak jumlah jamaah yang mendukungnya, maka akan kian tinggi popularitas pemimpin agama tersebut.

Tanpa disadari, tak jarang gejala serupa itu ikut memberi pengaruh psikologi terhadap ego para pemuka agama. Popularitas yang dicapai sering dianggap sebagai kesuksesan diri pribadi yang harus senantiasa dipertahankan dan bila perlu ditingkatkan lagi. Salah satu kiatnya yaitu dengan meningkatkan kepercayaan penuh para pengikut dengan menghilangkan sikap kritis mereka. [13]

Dalam kondisi seperti ini terkadang dengan menggunakan otoritasnya yang berlebihan, pemimpin agama terjebak kepada upaya untuk memitoskan ajaran agama. Ajaran agama dijadikan alat untuk menyihir pengikutnya. Sehingga apapun yang dikatakan oleh pemimpin agama dianggapa sebagai fatwa yang bila dilanggar akan berakibat buruk. Dalam hal ini pemimpin agama berusaha menciptakan situasi psikologi pengikutnya melalui otoritas keagamaan yang ia miliki, hingga mempengaruhi terbentuknya sikap penurut.

  1. Pengertian Klenik dan Fatalisme dalam Beragama

Pengertian tentang klenik dan fatalisme yang sudah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan klenik dan fatalisme dalam beragama adalah suatu hal yang merupakan penyimpangan agama, dimana sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan. Diantaranya yaitu menyakini akan sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan ajaran agama serta bersikap pasrah terhadap nasibnya. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per orang dan juga pada kelompok atau masyarakat.

Sikap keagamaan yang menyimpang dapat terjadi penyimpangan pada kepercayaan dan keyakinan, sehingga dapat memberi kepercayaan dan kayakinan baru pada seseorang atau kelompok. Apabila hal tersebut mencapai tingkat kepercayaan serta keyakinan yang tidak sejalan dengan ajaran agama tertentu maka akan terjadi sikap keagamaan yang menyimpang, baik dalam diri per-orang (individu) maupun kelompok.

BAB III

PENUTUP

  1. Kesimpulan

1. Klenik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal.

2. Fatalisme adalah sesuatu sikap yang pasrah akan nasib dan takdirnya.

3. Klenik dan fatalisme dalam beragama adalah suatu hal yang merupakan penyimpangan agama, dimana sikap seseorang terhadap kepercayaan dan keyakinan terhadap agama yang dianutnya mengalami perubahan. Perubahan sikap seperti itu dapat terjadi pada orang per orang dan juga pada kelompok atau masyarakat.

  1. Saran

1. Bagi para Umat Islam agar memperkuat keimanan supaya tidak terjadi penyimpangan agama seperti klenik dan fatalisme.

2. Bagi para pembaca makalah ini, apabila terdapat kesalahan dan kekurangan, silakan memberikan kritik dan sarannya agar makalah ini menjadi lebih sempurna.

DAFTAR PUSTAKA

http://id.wikipedia.org/wiki/Fatalisme

http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=9716

Jalaludin. Psikologi Agama. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 1998. cet. 3.,

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. 2009. Edisi Revisi.

Jalaluddin. Psikologi Agama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2002. Edisi Revisi. cet. 6.

J. P. Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2009.

Kartini Kartono dan Dali Gulo. Kamus Psikologi. Bandung: CV. Pionir Jaya. 2000.



[1] Dr. Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1998), cet. 3., Hlm. 194.

[2] Ibid., Hlm. 241.

[3] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), Edisi Revisi, cet. 6., Hlm.255.

[4] Ibid., Hlm. 243.

[5] Ibid., Hlm. 245.

[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Fatalisme

[7] Kartini Kartono dan Dali Gulo, Kamus Psikologi, (Bandung: CV. Pionir Jaya, 2000), Hlm. 366.

Predestination yaitu satu pandangan yang menyatakan, bahwa ada pola yang sudah ditentukan terlebih dahulu (ada pra-determinasi) yang harus diikuti oleh setiap kejadian.

[8] J. P. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009), Hlm. 136.

Dialectic yaitu pemikiran dan pertimbangan, khususnya satu latihan secara ekstensif dalam pemikiran deduktif.

[9] http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=9716

[10] J. P. Chaplin, Op.Cit. Hlm. 308.

Monadism yaitu doktrin yang menyatakan bahwa realitas itu terdiri atas unit-unit bebas dari keberadaan, baik dari jiwa maupun dari zat.

[11] Prof. Dr. H. Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2009), Edisi Revisi, Hlm. 373.

[12] Ibid, Hlm. 374.

[13] Ibid., Hlm. 376.

Kamis, 14 Juni 2012

ASWAJA

NAMA

AGUSTINA PANCA KHOIROH

NIM

229005

FAKULTAS

TARBIYAH VI A

Pemikiran Sunni terus berkembang sesuai dengan konteks. Setiap kurun waktu dan generasi terjadi upaya pemahaman baru dan aktualisasi yang mengacu pada kontekstualisasi doktrin sehingga dapat diterima oleh mayoritas umat Islam. Pasca Abu Hasan al-Asyari pemikiran ini diteruskan oleh al-Baqillani. Dan berturut-turut muncul Imam al-Haramain, Muhammad al-Ghazali, al-Syahrastani, al-Razi, Adhuddin al-Iji, Muhammad Sanusi, al-Bajuri, al-Dasuqi dan Zaini Dahlan. Dari rentang waktu tersebut, kontribusi besar yang tidak dapat diupayakan adalah kemajuan nalar di masa generasi Ibn Hazm al-Andalusi yang berani melakukan ta’ wil al-Quran. Karena itulah pemikiran Sunni lahir dari sebuah proses panjang dan terformulisasi sesuai dengan tuntunan zaman.

Tokoh-tokoh Sunni sepanjang masa di atas memberikan konstribusi pemikiran keislaman yang mengedepankan tawassuth, tawazun, I’tidal dan tasamuh. Misalnya, Hasan al-Bashri, meskipun hidup di tengah iklim politik yang panas, beliau tidak pernah menunjukkan sikap konfrontatif atau akomodatif. Dalam kondisi umat Islam yang terbelah antara pendukung Muawiyah dan Ali bin abi Thalib, Hasan Bashri bersikap netral dengan menjauhi dunia politik. Hasan Bashri memposisikan diri sebagai tokoh perekat yang mendorong dinamisasi dan harmonisasi di tengah masyarakat. Suatu ketika Hasan Bashri melarang rencana Said bin Zubair yang akan menyerang Dinasti Umayyah, tetapi ketika Said bin Zubair terbunuh di tangan Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, Hasan Bashri bereaksi keras menunjukkan kemarahannya kepada penguasa Dinasti Umayyah. Hasan Bashri pun pernah berkomentar pedas bahwa ada empat persoalan yang menjerumuskan Muawiyah ke dalam kubangan dosa besar yang salah satunya melemparkannya ke neraka. Pertama, mengubah sistem pemerintahan dari sistem khilafahan menjadi mamlakah (feodalistik). Kedua, mengankat puteranya, Yazid menjadi khalifah II. Ketiga, membunuh Hujair bin ‘Aday beserta enam orang sahabatnya. Keempat, mengangkat Ziyad bin Abin sebagai gubernur. Sikap politik Hasan Bashri cukup tegas, ia mengakui bahwa kebenaran di pihak Ali bin Abi Thalib sedangkan Muawiyah dalam posisi yang salah. Tetapi Hasan Bashri mengakui kemenangan Muawiyah atas Ali bin Abi Thalib. Sikap beliau yang moderat menjadikannya sebagai guru besar ahlussunnah wal jamaah.

Abu Hasan al-Asyari dan Ulama Sunni Lainnya

Pernyataan resmi Dinasti Abbasiah beberapa abad lalu yang membubarkan mazhab Mu’tazilah dan menggantinya dengan mazhab Sunni yang sebenarnya bisa diakatan sebagai iftikar siysian (move politik) adalah upaya untuk menghadapi gelombang kejenuhan masyarakat terhadap mazhab Mu’tazilah akibat perang akidah yang semakin mengeras.

Dalam suasana kepanikan akidah, Abu Hasan al-Asyari menawarkan konsep teologi yang berorientasi sejuk dan menyelamatkan kebingungan umat. Kelompok Mu’tazilah beranggapan bahwa relasasi alam dan Allah adalah qodim fi al-zaman dan hadits fi al-Dzat. Al-Asyari merespon pendapat Mu’tazilah bahwa Allah itu Qodim, sedangkan alam adalah hadits (baru). Dalam kesempatan lainnya al-Asyari juga merespon pendapat Mu’tazilah dan Jabariyah tentang Qadha’ dan Qadar. Abu Hasan al- Asyari berpendapat bahwa semua gerak di muka bumi adalah atas izin Allah, sedangkan manusia diberikan hak untuk berupaya.