Selasa, 29 Maret 2011

Ushul Fiqh

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kenyataan menunjukkan bahwa manusia hidup dalam suatu komunitas, di mana masing-masing mereka mempunyai kepentingan sendiri-sendiri yang kadang-kadang dalam memenuhi kepentingannya itu terdapat pertentangan kehendak antara satu dengan lainnya.
Agar antara masing-masing individu itu tidak terjadi tindakan yang semau hati diperlukan suatu aturan permainan hidup secara pasti mengikat dan menuntun mereka dalam bertindak. Dengan adanya aturan tersebut setiap individu tidak merasa dirugikan kepentingannya atas batas-batas yang layak. Aturan-aturan itulah yang disebut dengan hukum.
Untuk manusia secara keseluruhan, hukum itu telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan seluruh umat manusia secara pasti. Untuk menyampaikan aturan-aturannya itu, Allah memilih mengangkat Rasul sebagai pesuruh dan utusan-Nya kepada manusia. Rasul itulah yang bertugas menyampaikan dan memberitahu hukum atau aturan-aturan tersebut kepada manusia.
Setelah Rasul diutus dan aturan-aturan tersebut telah sampai kepada manusia, maka sejak saat itu pula manusia ditaklifi untuk mematuhi segala aturan tersebut dalam segala tindakan yang mereka lakukan. Mereka dituntut untuk melakukan segala yang diperintah dan meninggalkan segala yang dilarang.
Tugas memberitahu hukum syar’i berikutnya setelah Rasul meninggal diteruskan oleh para sahabat. Kemudian, setelah periode sahabat berlalu, seterusnya para ulama tabi’in, tabi’tabi’in, dan begitu seterusnya oleh para ulama, baik fuqaha, muhaddasin, mutakallimin, dan lain sebagainya.


B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian Hakim, Mahkum ‘Alaih dan Mahkum Fih ?
2. Bagaimana hubungan antara hakim dan mahkum ‘alaih ?
3. Sebutkan ragam-ragam hukum syari’at ?

C. Tujuan Penulisan

1. Hendaknya mahasiswa mampu memahami pengertian hakim. Mahkum fih, mahkum ‘Alaih .
2. Dapat menjelaskan hubungan antara mukallaf dengan hakim.
3. Agar mahasiswa mengetahui ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf.

D. Manfaat
1. Mengetahui pengertian Hakim, Mahhum fih dan Mahkum Alaih.
2. Mengetahui hubungan antara mukallaf dengan hakim.
3. Mengetahui Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf.









BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HAKIM, MAHKUM FIH DAN MAHKUM ‘ALAIH

1. Pengertian Hakim
Hakim mempunyai 2 (dua) pengertian, yaitu :
a.
Artinya :
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”.
b.
Artinya :
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan yang menyingkapkan hukum”.
Hakim (syari’) merupakan persoalan mendasar dalam pembahasan ushul fiqh, karena berkaitan dengan siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at islam, siapa yang menentukan hukum syara’ yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu, apakah akal sebelum datangnya wahyu mampu menentukan baik buruknya sesuatu.
Menurut ulama’ ushul, hakim adalah Allah SWT. Dia adalah sang pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh manusia yang mukallaf. Oleh sebab itu, tidak ada syari’at dalam islam kecuali dari Allah SWT, baik yang berkaitan dengan hukum taklifi maupun hukum wadh’i.
Jadi dapat dijelaskan bahwa hakim (pembuat hukum) dalam pengertian islam adalah Allah SWT. Dia yang menciptakan manusia di atas bumi ini dan dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam hubungannya dengan kepentingan hidup dunia maupun untuk kepentingan hidup di akhirat, baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat pula dipahami bahwa hakim (pembuat hukum) satu-satunya Bagi umat islam adalah Allah SWT. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT :

“Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi allah”.
Tentang kedudukan Allah SWT sebagai satu-satunya pembuat hukum dalam pandangan islam tidak ada perbedaan pendapat dikalangan umat islam. Masalahnya adalah apakah manusia sendiri secara pribadi dapat mengenal hukum Allah itu atau hanya dapat mengenalNya melalui perantara yakni Rasul.
Mengenai pendapat ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama
1. Pendapat mayoritas ulama’ Ahlussunnah mengatakan bahwa satu-satunya yang dapat mengenalkan hukum Allah kepada manusia adalah Rasul atau utusan Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan Allah pada rasulNya.
Sebagai kelanjutan dari pendapat ini adalah bahwa bila tidak ada rasul yang membawa wahyu maka tidak akan ada hukum Allah SWT, dan manusiapun tidak akan ada yang mengetahuinya. Menurut paham ini seorang manusia dapat dianggap patuh atau ingkar kepada Allah, mendapat pahala atau mendapat dosa bila telah datang rasul yang membawa wahyu.
2. Kalangan ulama’ kaum mu’tazilah yang berpendapat bahwa memang Rasulullah SAW adalah manusia satu-satunya yang berhak mengenalkan hukum Allah kepada manusia. Meski demikian, seandainya rasul belum datang mengenalkan hukum Allah itu kepada manusia, ia mempunyai kemampuan mengenal hukum Allah itu.

Kedua pendapat ini sepakat dalam menempatkan Rasulullah sebagai pembawa hukum Allah dan Rasul sebagai orang yang berhak mengenalakan hukum Allah kepada manusia. Dengan datangnya Rasul pembawa hukum itu, maka berlakulah taklif.

2. Pengertian Mahkum Fih
Secara etimologi Mahkum Fih berarti sasaran hukum, dalam hal ini adalah perbuatan muakallaf. Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang dimaksud mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan/yang di bebani dengan hukum syara’.
Pembahasan mengenai perbuatan manusia sebagai sasaran hukum harus dibedakan menjadi 2 :
1. Substansi perbuatan yang dikenai hukum.
2. Sandaran perbuatan manusia.
Dalam konteks yang pertama, Allah SWT telah menetapakan perbuatan manusia (af’al al-I’bad) yang bersifat fisik (bukan non fisik seperti keyakinan hati) sebagai sasaran hukum (al-mahkum fih).
Dalam hal ini, Al-qur’an ataupun As-sunnah, sama-sama telah membedakan antara seruan yang wajib diyakini dengan seruan yang wajib dilaksanakan. Konteks seruan yang pertama merupakan wilayah aqidah, sedangkan konteks yang kedua adalah wilayah hukum syari’at. Ini misalnya terlihat dengan jelas dalam firman Allah SWT :

“ Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepda Allah dan Rasul-Nya”. (QS. An-Nisa’. 4 : 136).

“Telah diperintahkan atas kalian untuk berperang”. (QS. Al-Baqarah. 2 : 216).
Surat An-Nisa’ 4 ayat 136 diatas adalah seruan Allah SWT kepada manusia yang dituntut untuk diyakini, sebaliknya, seruan Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah 2 ayat 216 diatas menuntut untuk di laksanakan. Dari kedua konteks seruan diatas, terlihat dengan jelas perbedaan antara seruan yang berkaitan dengan perbuatan fisik dan seruan yang berkaitan dengan keimanan. Inilah substansi perbuatan manusia yang menjadi sasaran hukum syari’at.
Syarat-syarat Mahkum fih
Allah SWT tidak akan membebani seorang hamba dengan perbuatan yang di luar batas kemampuannya. Sebab kalau Allah tetap memberikan beban seperti itu berarti Allah menganiaya terhadap hamba-Nya. Dan sikap yang seperti itu mustahil terdapat dalam dzat Allah yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana.
Ulama’ menyimpulkan tiga syarat untuk sahnya suatu perbuatan manusia ditaklifkan :
a. Perbuatan tersebut diketahui oleh mukallaf, sehingga mereka dapat melakukannya sesuai dengan apa yang mereka tuntut.
Oleh sebab itu, agar ayat-ayat yang mujmal (umum) dapat dilaksanakan harus ada penjelasan dari Nabi SAW. Dalam ayat misalnya, tidak menyebutkan cara pelaksnaan sholat dalam Alqur’an, untuk itu Nabi menjelaskannya dalam sabda beliau :

b. Harus diketahui bahwa pentaklifan tersebut berasal dari orang yang berwenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib dipatuhi oleh mukallaf.
Oleh sebab itu, seseorang yang sehat akalnya dan sanggup mengetahui hukum syara’ dengan sendirinya atau dengan menanyakannya kepada ornag lain yang mengetahui maka orang yang dianggap mengetahui apa yang ditaklifkan tersebut dan diberlakukan kepadanya hukum dan segala akibatnya.
c. Perbuatan yang ditaklifkan tersebut dimungkinkan terjadi. artinya, melakukan atau meninggalkan perbuatan itu berada dalam batas kemampuan seoarang mukallaf tersebut. Dan syarat yang ketiga ini timbul dari 2 hal :
1. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan sesuatu yang mustahil baik menurut dzatnya maupun karena hal lain. Misalnya, menyuruh sesorang terbang tanpa pesawat terbang.
2. Tidak sah menurut syara’ mentaklifkan seorang mukallaf agar orang lain melakukan suatu perbuatan tertentu. Misalnya, tidak dibebankan kepada seseorang agar kawannya berhenti merokok, tidakn mencuri, dan lain sebagainya, yang ditaklifkan disini hanya member nasihat, menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar.

3. Pengertian Mahkum ‘Alaih (Mukallaf)
Mahkum ‘Alaih berarti subjek hukum atau pelaku hukum. Jelasnya, yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah orang-orang yang dituntut oleh Allah SWT untuk berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah SWT tersebut. Dalam ushul fiqh, subjek hukum (mahkum ‘alaih) itu disebut mukallaf atau orang-orang yang dibebani hukum. Dengan kata lain, mahkum ’alaih adalah orang mukallaf yang pebuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah SWT.


Syarat-syarat Mahkum ‘Alaih
Ada 2 (dua) persyaratan yang harus dipatuhi agar seorang yang mukallaf sah ditaklifi :
1. Seorang yang mukallaf mampu memahami atau mengetahui dalil-dalil tentang taklif.
Paham dan tahu itu sangat berhubungan dengan akal, karena akal itu adalah alat untuk mengetahui dan memahami. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :

“ Agama itu bedasarkan pada akal, tidak ada arti agama bagi orang yang tidak berakal “.
Akal pada diri seseorang manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan fisiknya dan baru berlaku atas dirinya taklif tersebut apabila akal telah mencapai tingkat yang sempurna. Seseorang akan mencapai tingkat kesempurnaan akal apabila telah mencapai batas dewasa (baligh), kecuali apabila mengalami kelainan yang menyebabkan ia terhalang dari taklif.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa syarat mukallaf yang petama adalah adanya seseorang tersebut sudah mencapai tingkat kedewasaan (baligh) dan berakal. Sebaliknya orang yang belum mencapai tingkat tersebut maka belum terkena tuntutan hukum taklif. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :


“ Diangkatkan (dihilangkan) qolam (tuntunan) dari 3 orang yaitu dari anak-anak samapai ia dewasa, dari orang yang tidur sampai ia terjaga, dari orang gila sampai ia sembuh “.
2. Seorang mukallaf mampu menerima beban taklif atau beban hukum yang dalam istilah ushul fiqh dinamakan ahlu al taklif.
Kecakapan menerima taklif (Al ahliyyah) adalah kepantasan untuk menerima taklif. Kepantasan itu ada 2 macam, yaitu kepantasan untuk di kenai hukum (ahliyyatul wujub) dn kepantasan untuk menjalankan hukum (ahliyyatul ada’).
Kecakapan untuk dikenai hukum (ahliyyatul wujub) yaitu kepantasan seseorang manusia untuk menrima hak-hak dan dikenai kewajiban.
Para Ahli Ushul Fiqh membagi ahliyyatul wujub pada 2 tingkatan :
a. Ahliyyah al-wujub naqisoh atau kecakapan dikenai hukum secara lemah, yaitu kecakapan seorang manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas menerima hak.
Contoh kecakapan untuk menrima hak, tetapi tidak untuk menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya, bayi itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan dan wasiat, meski ia belum lahir. Realisasi dari hak itu berlaku setelah ia lahir dalam keadaan hidup. Bayi dalam kandungan itu tidak dibebani kewajiban apa-apa karena secara jelas ia belum bernama manusia.
Contoh kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap menerima hak adalah orang yang telah mati tapi masih meninggalkan hutang, dengan kematiannya itu .ia tidak akan mendapatkan hak apa-apa lagi, tetapi masih dikenakan kewajiban untuk membayar hutang.
b. Ahliyyah al-wujub kamilah atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak.
Contohnya adalah anak yang baru lahir, disamping ia berhak menerima harta warisan, ia juga telah dikenai kewajiban seperti membayar zakat fitrah yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua/wali bayi tersebut.
Kecakapan untuk menjalankan hukum (ahliyyatul ada’) yaitu kepantasan seseorang manusia untuk diperhitungkan segala tindakannya menurut hukum.
Kecakapan berbuat hukum (ahliyyatul ada’) terdiri dari tiga tingkat, setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur manusia. Ketiga tingkat tersebut adalah :
1. Adim al ahliyyah atau tidak cakap sama sekali yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyis sekitar umur 7 tahun.
2. Ahliyyah al ada’ naqisoh atau cakap berbuat hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur tamyis (kira-kira umur 7 tahun) smpai batas dewasa.
3. Ahliyyah al ada’ kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.

B. LOGIKA HUBUNGAN ANTARA HAKIM DENGAN MUKALLAF
Hubungan antara hakim dengan mukallaf adalah bahwa hakim adalah sang pembuat hukum sedangkan mukallaf adalah subjek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya hakim maka mukallaf tidak akan nyata, dan apabila orang mukallaf melakukan suatu pelanggaran baik berkaitan dengan Allah (hakim) langsung atau berkaitan dengan sesama mukallaf maka yang menghukumi adalah hakim.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya hakim, mukallaf maupun mahkum fih merupakan beberapa bagian atau komponen dari mabahitsul ahkam dalam ilmu ushul fiqih. Yang mana dari seluruh komponen mabahitsul ahkam yang terdiri dari hakim, hukum, mahkum fih, dan mahkum alaih tersebut saling berkaitan satu sama lain. Dan empat komponen inilah yang nantinya dapat menciptakan dan menjadikan terlaksananya hukum syar’i secara sempurna.


C. RAGAM-RAGAM HUKUM YANG DITENTUKAN KEPADA MUKALLAF

Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf sesuai dengan hukum syar’i dibagi menjadi 2 :
1. Hukum yang berbentuk tuntutan dan pilihan yang disebut hukum Taklifi. Dimana hukum taklifi itu ada 5 macam :
a. Wajib, yaitu segala perbuatan yang diberi pahala jika mengerjakannya dan diberi siksa apabila meninggalkannya. Misalnya : Mengerjakan sholat.
b. Haram, yaitu segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang melakukannya akan disiksa, dan yang meninggalkannya diberi pahala. Misalnya : Mencuri, membunuh.
c. Mandub (Sunat), yaitu segala perbuatan yang dilakukan akan mendapat pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan dosa atau siksa. Misalnya: Melaksanakan sholat sunat.
d. Makruh, yaitu perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa. Misalnya : Merokok.
e. Mubah, yaitu segala perbuatan yang diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Misalnya: Melakukan perburuan sesudah melakukan tahalul dalam ibadah haji.
2. Hukum yang ditetapkan Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu yang disebut dengan hukum Wadh’i. Ulama’ membagi hukum wadh’i ini kepada : sebab, syarat, mani’. Namun sebagian ulama’ memasukkan sah dan batal, ‘azimah serta rukhshah.
a. Sebab, yaitu segala sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi. MIsalnya : Tenggelamnya matahari disebut sebab bagi hukum taklifi yaitu kewajiban mengerjakan sholat magrib.
b. Syarat, yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi. Misalnya : Cukupnya ukuran nisab pada harta menjadi syarat adanya kewajiban zakat.
c. Mani’, yaitu sesuatu yang dijadikan pembuat hukum sebagai penghalang berlangsungnya hukum taklifi. Misalnya : Keadaan berhaidnya seorang wanita menyebabkan tidak berlakunya sholat dan puasa.
d. Shah, yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya sebab, sudah terpenuhi syarat yang ditentukan dan telah terhindar dari mani’. Misalnya : Sholat dzuhur telah dilakukan setelah tergelincir matahari, setelah melakukan wudhu’ dan tidak dalam keadaan haid dan halangan lainnya.
e. Bathal, yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat, atu terpenuhi keduanya tetapi terdapat mani’. Misalnya : Sholat magrib sebelum tergelincir matahari, atau tidak memakai wudhu’.
f. ‘Azimah, yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang keadaan mukallaf yang melaksanakannya. Misalnya : Haramnya bangkai untuk semua umat Islam dalam keadaan apapun.
g. Rukhshah, yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil umum karena keadaan tertentu. Misalnya : Bolehnya seseorang dalam keadaan darurat memakan bangkai.



BAB III
ANALISIS
Makalah ini membahas tentang “ Hakim, Mahkum Fih, Mahkum ‘Alaih, dan Logika Hubungan antara Hakim dan Mukallaf serta Ragam-ragam Hukum yang ditentukan kepada Mukallaf”. Dimana makalah ini memaparkan bahwa Hakim adalah Allah sebagai satu-satunya pembuat hukum. Mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf yang dikenakan hukum. Sedangkan Mahkum ‘Alaih adalah subyek hukum yaitu mukallaf.
Adapun hubungan antara hakim dan mukallaf sangat berhubungan erat. Adanya hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih menjadikan terlaksananya hukum syar’i.
Sedangkan ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf meliputi hukum taklifi dan hukum wadh’i . Dimana hukum taklifi dibagi menjadi 5 yaitu :
1. Wajib
2. Haram
3. Sunat
4. Mubah
5. Makruh
Dan Hukum wadh’i dibagi menjadi 7 yaitu :
1. Sebab
2. Syarat
3. Mani’
4. Syah
5. Batal
6. ‘Azimah
7. Rukhshah
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hakim adalah pembuat hukum yaitu Allah.
2. Mahkum Fih adalah perbuatan mukallaf yang dikenai hukum.
3. Mahkum ‘Alaih adalah Subyek yang dikenai hukum yaitu mukallaf.
4. Hubungan antara hakim dan mukallaf sangat berhubungan erat. Adanya hukum, hakim, mahkum fih dan mahkum ‘alaih menjadikan terlaksananya hukum syar’i.
5. Ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf meliputi hukum taklifi dan hukum wadh’i .
B. Saran
1. Hendaknya mahasiswa mampu memahami pengertian hakim. Mahkum fih, mahkum ‘Alaih .
2. Dapat menjelaskan hubungan antara mukallaf dengan hakim.
3. Agar mahasiswa mengetahui ragam-ragam hukum yang ditentukan kepada mukallaf.
4. Hendaknya mahasiswa mampu melaksanakan hukum-hukum yang telah ditentukan dengan tepat menurut syari’at Islam.







DAFTAR PUSTAKA

1. Bahri, M. Ag., dkk., Drs. Syamsul. 2008. Metodologi Hukum Islam. Yogyakarta : Teras.
2. Hizbut Tahrir Indonesia. 2002. Menegakkan Syari’at Islam. Jakarta : Hizbut Tahrir Indonesia.
3. Koto, M. A., Prof. Dr. H. Alaidin. 2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
4. Syarifuddin, Prof. Dr. H. Amir. 2000. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu.
5. Uman, dkk., Drs. Chaerul. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Senin, 21 Maret 2011

tafsir

BAB 1
PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan merupakan kalamullah yang mutlak kebenarannya, berlaku sepanjang zaman dan mengandung ajaran dan petunjuk tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia di dunia dan akhirat kelak. Ajaran dan petunjuk tersebut amat dibutuhkan oleh manusia dalam mengarungi kehidupannya.
Banyak orang yang salah mengartikan akan suatu ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an, sehingga orang bisa saja mengartikan berbagai ayat dalam Al-Qur’an dengan tidak melihat berbagai sumber termasuk tafris-tafsir yang sudah ada. Banyak sekali buku-buku atau tafsir-tafsir yang seharusnya kita gali untuk mengkaji berbagai ayat. Salah satunya adalah tafsri al-Maraghi juga tafsir Al-Misbah karya Quraisy Sihab.

Al-Qur’an bukanlah kitab suci yang siap pakai dalam arti berbagai konsep yang dikemukakan al-Qur’an tersebut, tidak langsung dapat dihubungkan dengan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Ajaran al-Qur’an tampil dalam sifatnya yang global, ringkas dan general sehingga untuk dapat memehami ajaran al-Qur’an tentang berbagai masalah tersebut, mau tidak mau seseorang harus melalui jalur tafsir sebagimana yang dilakukan oleh para ulama.
Salah satu pokok ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah tentang kewajiban belajar mengajar, yang dalam makalah ini akan kami bahas beberapa ayat tentang materi tersebut.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Surat al Alaq 1-4
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1)
Artinya : "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (1)
Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dinyatakan bahkan Nabi SAW. datang ke gua Hira' suatu gua yang terletak di atas sebuah bukit di pinggir kota Mekah untuk berkhalwat beberapa malam. Kemudian sekembali beliau pulang mengambil bekal dari rumah istri beliau, Khadijah, datanglah jibril kepada beliau dan menyuruhnya membaca.

Nabi menjawab: "Aku tidak bisa membaca" Jibril merangkulnya sehingga Nabi merasa sesak nafas. Jibril melepaskannya; sambil berkata: "Bacalah". Nabi menjawab: "Aku tidak bisa membaca". Lalu. dirangkulnya lagi dan dilepaskannya sambil berkata: "Bacalah". Nabi menjawab: "Aku tidak bisa membaca" sehingga Nabi merasa payah, maka Jibril membacakan ayat 1 sampai ayat 5 surah Al `Alaq.
Nabi SAW. dapat membaca adalah dengan kemurahan Allah. Dia mengabulkan permintaan orang-orang yang meminta kepada-Nya, maka dengan limpahan karunia-Nya dijadikan Nabi-Nya pandai membaca. Dengan demikian hilanglah keuzuran Nabi SAW. yang beliau kemukakan kepada Jibril ketika menyuruh beliau membaca: "Saya tidak pandai membaca, karena saya seorang buta huruf yang tak pandai membaca dan menulis".
Kata iqra’ diambil kata kerja qara’a yang pada mulanya berarti menghimpun. Beraneka ragam pendapat ahli tafsir tentang objek bacaan yang dimaksud. Ada yang berpendapat wahyu-wahyu Al-Qur’an, sehingga perintah itu dalam arti bacalah wahyu-wahyu A-Qur’an ketika dia turun nanti. Ada juga yang berpendapat objeknya adalah ismi rabbika sambil menilai huruf ba’ yang menyertai kata ismi adalah sisipan sehingga ia berarti bacalah nama Tuhanmu atau berdzikirlah.
Syekh Abduh Halim Mahmud (mantan pemimpin tertinggi Al Azhar Mesir) yang menulis dalam bukunya, Al Qur’an Fi Syahr Al Qur’an bahwa “Dengan kalimat iqra’ bismi rabbik, AlQur’an tidak sekedar memerintahkan untuk membaca, tapi “membaca” adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa karena kata iqra’ digunakan dalam arti membaca, menela’ah, menyampaikan dan sebagainya, karena objeknya bersifat umum, maka obje kata tersebut mencakup segala yang dapat terjangkau, baik yang merupakan bacaan suci yang bersumber dari Tuhan maupun bukan, baik yang menyangkut ayat-ayat yang tertulis maupun yang tidak tertulis.
(1) Al-Qur’an dan terjemahan

خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَق (2)
Artinya : “Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah.”
Dalam ayat ini Allah mengungkapkan cara bagaimana ia menjadikan manusia, yaitu manusia sebagai makhluk yang mulia dijadikan Allah dari sesuatu yang melekat dan diberinya kesanggupan untuk menguasai segala sesuatu yang ada di bumi ini serta menundukkannya untuk keperluan hidupnya dengan ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Dan Dia berkuasa pula menjadikan insan kamil di antara manusia, seperti Nabi SAW. yang pandai membaca walaupun tanpa belajar.
Ayat ini dan ayat-ayat berikut memperkenalkan Tuhan yang disembah oleh Nabi Muhammad saw. dan yang diperintahkan oleh ayat-ayat yang lalu untuk membaca dengan namaNya serta demi untukNya. Dia adalah Tuhan yang telah menciptakan manusia yakni semua manusia – kecualli “Adam dan Hawwa” – dari ‘alaq segumpal darah atau sesuatu yang bergantung di dinding rahim.
Manusia adalah mahluk pertama yang disebut Allah dalam Al Qur’an melalui wahyu pertama. Bukan saja karena ia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, atau karena segala sesuatu dalam alam raya ini diciptakan dan ditundukkan Allah demi kepentingannya, tetapi juga karena kitab suci AlQur’an ditujukan kepada manusia agar menjadi pelita kehidupannya. Salah satu cara yang ditempuh oleh AlQur’an untuk mengantar manusia menghayati petunjuk-petunjuk Allah adalah memperkenalakan jati dirinya antara lain dengan menguraikan proses kejadiannya.(2)
(2) M. Quaisy Shihab. Tafsir al-Misbah Vol 15. Jakarta. Lentera Hati. 2002. Halm 397

(3) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَ
Artinya : “Bacalah dan Tuhanmu Yang Paling Pemurah”.
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan kembali Nabi-Nya untuk membaca, karena bacaan tidak dapat melekat pada diri seseorang kecuali dengan mengulang-ngulangi dan membiasakannya, maka seakan-akan perintah mengulangi bacaan itu berarti mengulang-ulangi bacaan yang dibaca dengan demikian isi bacaan itu menjadi satu dengan jiwa Nabi SAW.
Ayat tiga diatas mengulangi perintah membaca. Ulama’ berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan itu. Ada yang menyatakan bahwa perintah pertama ditujukan kepada pribadi Nabi Muhammad saw., sedang yang kedua kepada umatnya, atau yang pertama untuk membaca dalam sholat, sedang yang kedua diluar sholat. Pendapat ketiga menyatakan yang pertama perintah belajar, sedang yang kedua adalah perintah mengajar orang lain.

الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4)
Artinya : “Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.”
Ayat-ayat yang lalu menegaskan kemurahan Allah SWT. Ayat diatas melanjutkan dengan memberi contoh sebagian dari kemurahannya itu dengan menyatakan bahwa : Dia yang Maha pemurah yang mengajar manusia dengan pena yakni dengan sarana dan usaha mereka, dan juga yang mengajar manusia tanpa alat dan usaha dan mengajarkan mereka apa yang belum diketahui-nya.
Kemudian dengan ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia menyediakan kalam sebagai alat untuk menulis, sehingga tulisan itu menjadi penghubung antar manusia walaupun mereka berjauhan tempat. sebagaimana mereka berhubungan dengan perantaraan lisan. Kalam sebagai benda padat yang tidak dapat bergerak dijadikan alat informasi dan komunikasi, maka apakah sulitnya bagi Allah menjadi Nabi-Nya sebagai manusia pilihan-Nya bisa membaca, berorientasi dan dapat pula mengajar.

Allah menyatakan bahwa Dia menjadikan manusia dari 'Alaq lalu diajarinya berkomunikasi dengan perantaraan kalam. Pernyataan ini menyatakan bahwa manusia diciptakan dari sesuatu bahan hina dengan melalui proses, sampai kepada kesempurnaan sebagai manusia sehingga dapat mengetahui segala rahasia sesuatu, maka seakan-akan dikatakan kepada mereka, "Perhatikanlah hai manusia bahwa engkau telah berubah dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling mulia, hal mana tidak mungkin terjadi kecuali dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kehendak-Nya.

B. Surat Ali Imran ayat 190-191
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190)
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)
Artinya : “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.(190), (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):` Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.(191)”
Sesungguhnya dalam tatanan langit dan bumi serta keindahanan perkiraaan dan keajaiban ciptaannya juga dalam silih bergantinya siang dan malam secara teratur sepanjang tahun yang dapat kita rasakan langsung pengaruhnya pada tubuh kita dan cara berfikir kita karena pengaruh panas matahari, dinginnya malam, dan pengaruhnya yang ada pada dunia flora dan fauna, dan sebagainya merupakan tanda dan bukti yang menunjukkan ke-Esa-an Allah, kesempurnaan pengetahuan dan kekuasaanNya.(3)
Dari ayat 190 bahwasanya dalam peraturan langit dan bumi dan keindahan pembuatannya, di dalam perlainan malam dan siang dan terus-menerus beriring-iringan melalui aturan yang paling baik nyata bekasnya pada tubuh dan akal kita, panas dan dingin, demikian pula pada bianatang dan tumbuh-tumbuhan, pada semuanya itu terdapat tanda-tanda dan dalil-dalil yang menunjuk kepada keesaan Allah, kesempurnaan ilmu-Nya dan kodrat-Nya, bagi sebagai orang yang berakal kuat.
Dalam ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.Adapun orang-orang yang berakal kuat itu adalah orang-orang yang memperhatikan langit dan bumi serta isinya, lalu mengingat dalam segala keadaannya, berdiri, duduk, berbaring akan Allah, akan nikmat-Nya, akan keutamaan-Nya atas alam semesta.
Dalam ayat ini dapat kita mengambil kesimpulan, bahwa kemenangan dan keberuntungan hanyalah dengan mengingat kebesaran Allah serta memikiri segala makhluk-Nya yang menunjuk kepada ada khalik yang Esa yang mempunyai ilmu dan kodrat yang diiringi oleh iman akan Rasul dan akan kitab.
(3) Tafsir Al Maraghi 4. Ahmad Mustafa Al-Maraghi.1993. Semarang: CV Toha Putra

C. Surat At Taubat ayat 122
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Artinya : “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Dalam ayat ini, Allah swt. menerangkan bahwa tidak perlu semua orang mukmin berangkat ke medan perang, bila peperangan itu dapat dilakukan oleh sebagian kaum muslimin saja. Tetapi harus ada pembagian tugas dalam masyarakat, sebagian berangkat ke medan perang, dan sebagian lagi bertekun menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam supaya ajaran-ajaran agama itu dapat diajarkan secara merata, dan dakwah dapat dilakukan dengan cara yang lebih efektif dan bermanfaat serta kecerdasan umat Islam dapat ditingkatkan.

Orang-orang yang berjuang di bidang pengetahuan, oleh agama Islam disamakan nilainya dengan orang-orang yang berjuang di medan perang. Dalam hal ini Rasulullah saw. Telah bersabda yang artinya :” Di hari kiamat kelak tinta yang digunakan untuk menulis oleh para ulama akan ditimbang dengan darah para syuhada (yang gugur di medan perang)”.

Tugas ulama umat Islam adalah untuk mempelajari agamanya, serta mengamalkannya dengan baik, kemudian menyampaikan pengetahuan agama itu kepada yang belum mengetahuinya. Tugas-tugas tersebut adalah merupakan tugas umat dan tugas setiap pribadi muslim sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan masing-masing, karena Rasulullah saw. Telah bersabda yang artinya : “Sampaikanlah olehmu (apa-apa yang telah kamu peroleh) daripadaku walaupun hanya satu ayat Alquran saja”.
Akan tetapi tentu saja tidak setiap orang Islam mendapat kesempatan untuk bertekun menuntut dan mendalami ilmu pengetahuan serta mendalami ilmu agama, karena sebagiannya sibuk dengan tugas di medan perang, di ladang, di pabrik, di toko dan sebagainya. Oleh sebab itu harus ada sebagian dari umat Islam yang menggunakan waktu dan tenaganya untuk menuntut ilmu dan mendalami ilmu-ilmu agama agar kemudian setelah mereka selesai dan kembali ke masyarakat, mereka dapat menyebarkan ilmu tersebut, serta menjalankan dakwah Islam dengan cara atau metode yang baik sehingga mencapai hasil yang lebih baik pula.

Apabila umat Islam telah memahami ajaran-ajaran agamanya, dan telah mengerti hukum halal dan haram, serta perintah dan larangan agama, tentulah mereka akan lebih dapat menjaga diri dari kesesatan dan kemaksiatan, dapat melaksanakan perintah agama dengan baik dan dapat menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian umat Islam menjadi umat yang baik, sejahtera dunia dan akhirat.

D. Surat Al Ankabut ayat 19-20
أَوَلَمْ يَرَوْا كَيْفَ يُبْدِئُ اللَّهُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (19)

قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (20)
Artinya : “Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(19) Katakanlah:` Berjalanlah di (muka) bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.(20)”
Sebagian ulama memandang ayat ini ditujukan kepada penduduk Mekah yang masih tidak mau beriman kepada Rasulullah. Tetapi jumhur mufassirin berpendapat bahwa ayat ini masih merupakan rangkaian dari peringatan Nabi Ibrahim as kepada kaumnya. Di sini Allah menegaskan bilamana orang-orang kafir masih tidak juga percaya kepada Allah Yang Maha Esa menurut apa yang disampaikan oleh para Rasul-Nya, maka mereka diajak untuk melihat dan memikirkan tentang proses kejadian diri mereka sendiri sejak dari permulaan sampai akhir.
Allah SWT berfirman, menceritakan kisah Nabi Ibrahim a.s. bahwa Ibrahim memberi petunjuk kepada kaumnya untuk membuktikan adanya hari bangkit yang mereka ingkari melalui apa yang mereka saksikan dalam diri mereka sendiri. Yaitu bahwa Allah SWT menciptakan yang pada sebelumnya mereka bukanlah sesuatu yang disebut – sebut ( yakni tiada ). Kemudian mereka ada dan menjadi manusia yang dapat mendengar dan melihat. Maka Tuhan yang memulai penciptaan itu mampu mengembalikannya menjadi hidup kembali, dan sesungguhnya mengembalikan itu mudah dan ringan bagi-Nya.
Kemudian Ibrahim memberi mereka petunjuk akan hal tersebut melalui segala sesuatu yang mereka saksikan di cakrawala, berupa berbagai macam tanda – tanda kekuasaan Allah yang telah menciptakan-Nya. Yaitu langit dan bintang – bintang yang ada padanya, baik yang bersinar maupun yang tetap beredar. Juga bumi serta lembah – lembah, gunung – gunung yang ada padanya, dan tanah datar yang terbuka dan hutan – hutan, serta pepohonan dan buah – buahan, sungai – sungai dan lautan, semua itu menunjukkan statusnya sebagai makhluk, juga menunjukkan adanya yang menciptakannya, yang mengadakannya serta memilih segalanya.(4)
(4) Al – Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung. Sinar Baru Algensindo. 2004, hlm.245.
Perintah berjalan kemudian dirangkai dengan perintah melihat seperti firman-Nya ( siiru fi al-ardhi fandhuru ) ditemukan dalam al Qur’an sebanyak tujuh kali, ini mengisyaratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan wisata ziarah. Dengan perjalan itu manusia dapat memperoleh suatu pelajaran dan pengetahuan dalam jiwanya yang menjadikannya menjadi manusia terdidik dan terbina, seperti dia menemui orang-orang terkemuka sehingga dapat memperoleh manfaat dari pertemuannya dan yang lebih terpenting lagi ia dapat menyaksikan aneka ragam ciptaan Allah.(5)
(5) M. Quaisy Shihab. Tafsir al-Misbah Vol 15. Jakarta. Lentera Hati. 2002. hlm. 468.
Dengan melakukan perjalanan di bumi seperti yang telah diperintahkan dalam ayat ini, seseorang akan menemukan banyak pelajaran yang berharga baik melalui ciptaan Allah yang terhampar dan beraneka ragam maupaun dari peninggalan – peninggalan lama yang masih tersisa puing – puingnya.
Ayat di atas adalah pengarahan Allah untuk melakukan riset tentang asal usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti.
Sebagai tambahan perjuangan mencari ilmu pengetahuan merupakan tugas atau kewjiban bagi setiap muslim baik bagi laki-laki maupun wanita. Menurut Nabi , tinta para pelajar nilainya setara dengan darah para syuhada’ pada hari pembalasan.dengan demikian, para pelaku dalam proses belajar mengajar, yaitu guru dan murid dipandang sebagai ‘‘ orang-orang terpilih’’ dalam masyarakat yang telah termotivasi secara kuat oleh agama untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan mereka.


BAB III
PENUTUP
Surat al-Alaq ayat 1-5, menurut Tafsir al-Qathan, ayat ini mengisyaratkan tentang ajakan serta kewajiban bagi umat Islam untuk belajar membaca dalam maknanya yang luas, menulis dan mengkaji tentang ilmu. Dan pada hal-hal tersebutlah terdapat syiar Islam. Dalam tafsir itu juga dijelaskan bahwa manusia yang pada awalnya sangat hina hanya berupa alaq, darah kental yang menggantung pada rahim akan memiliki derajat yang tinggi dengan adanya proses belajar dan megajar. Dengan proses belajar mengajar itulah manusia akan mendapatkan ilmu yang akan merubah manusia dari kedhaliman, menuju cahaya kehidupan. Ilmu yang dimaksud itu bukan terbatas pada ilmu keakhiratan belaka. Beliau al-Qaththan menjelaskan bahwa ilmu yang dijunjung tinggi oleh Islam adalah mencakup seluruh bidang dan cabang-cabangnya. Sehingga dengan ilmu yang semacam itu umat Islam dapat berperan dalam membangun peradabn dunia. Beliau juga mengkritik terhadap kelemahan umat Islam saat ini yang hanya menjadi pengikut yang lemah dari sebuah ilmu. Beliau menyebutnya dengan "al-Tabiin al-Khamilin". (Tafsir al-Qaththan, Juz-3 hal. 441).
surat Ali Imran 190-191, menurut Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya al-Jami li Ahkam al-Qur'an, mejelaskan tentang kewajiban manusia (muslim) untuk mengadakan pemikiran, perenungan maupun penelaahan kepada ayat-ayat Allah. Ayat di sini dalam arti tidak hanya ayat qauliyah saja akan tetapi juga ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Dengan pemikiran, perenungan maupun penelaahan itulah manusia akan sampai pada kesimpulan bahwa semua yang ada tidak lain adalah karena Yang Maha Kuasa, Allah swt. Dengan pemikiran dan penelaahan itulah manusia tidak akan terjebak pada sikap taqlid buta yang merugikan semua pihak. Akan tetapi manusai dapat bertindak berdasar keyakinan yang benar yang disandarkan pada ilmu yang telah diperolehnya (Al-Jami li Ahkam al-Qur'an, Juz 1, h. 1204)

Surat al-Taubah ayat 122, menjelaskan tentang kewajiban kolektif umat Islam untuk menuntut ilmu yang secara spesifik harus didalami. Tidak seyogyanya seluruh umat Islam berangkat berjihad dalam arti perang. Namun harus ada sebagian mereka yang secara khusus mendalami ilmu. Baik dalam ilmu agama maupun lainnya.
Surat al-Ankabut ayat 19-20, menjelaskan tentang kewajiban yang seharusnya dijalankan umat Islam untuk mengadakan perjalanan, dalam arti penelitian di muka bumi ini. Sehingga umat Islam dapat menemukan suatu kesimpulan atas penciptaan alam, hingga sejarah perjalanan manusia dan alam di masa lampau. Apa yang diperoleh dari penelaahan itu, kemudian akan dijadikan bahan refleksi dalam meniti kehidupan di dunia yang akan mengantarkannya selamat di kehidupan akhirat.

Pada pokoknya, ayat-ayat di atas mengingatkan kita akan pentingnya mencari ilmu serta juga mengamalkan ilmu karena ayat-ayat tersebut semuanya berkenaan dengan kewajiban kita atau manusia dalam belajar dan mengajar. Allah telah membuktikan kekuasaannya kepada manusia, tentunya manusia harus bisa mensyukuri dan mentafakuri akan nikmat dan ke Maha Besaran Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
(1) Al-Qur’an dan terjemahan
(2) M. Quaisy Shihab. Tafsir al-Misbah Vol 15. Jakarta. Lentera Hati. 2002. Halm 397
(3) Tafsir Al Maraghi 4. Ahmad Mustafa Al-Maraghi.1993. Semarang: CV Toha Putra
(4) Al – Imam Abul Fida Isma’il Ibnu Kasir. Tafsir Ibnu Kasir. Bandung. Sinar Baru Algensindo. 2004, hlm.245.
(5) M. Quaisy Shihab. Tafsir al-Misbah Vol 15. Jakarta. Lentera Hati. 2002. hlm. 468.

Psikologi Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Psikologi pada mulanya digunakan para ilmuwan dan para filosof untuk memenuhi kebutuhan mereka dalam memahami akal pikiran dan tingkah laku aneka ragam makhluk hidup mulai yang primitive sampai yang paling modern. Sedangkan pengertian pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian Psikologi Pendidikan?
2. Sebutkan Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan?
3. Jelaskan Metode Psikologi Pendidikan?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar sebagai mahasiswa kita tahu tentang apa itu psikologi pendidikan.
2. Supaya kita tahu apa yang menjadi ruang lingkup dalam psikologi pendidikan.
3. Agar kita tahu metode-metode apa yang digunakan dalam psikologi pendidikan.
D. Manfaat
a. Manfaat Teoritis :
1. Dapat mengetahui pengertian psikologi pendidikan, ruang lingkup psikologi pendidikan dan metode psikologi pendidikan.
b. Manfaat Praktis :
1. Mengetahui karakteristik anak didik, dan problematika dalam pembelajaran.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Psikologi Pendidikan
Ilmu jiwa pendidikan yang lebih dikenal dengan psikologi pendidikan terdiri dari 2 kata, yaitu psikologi dan pendidikan. Psikologi berasal dari 2 kata bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah psikologi berarti ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa.
Adapun mengenai pendidikan, berasal dari kata “didik” mendapat awalan “me”, sehingga menjadi “mendidik”, artinya memelihara dan memberi latihan. Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlaq dan kecerdasan pikiran (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991: 232). Selanjutnya pengertian “pendidikan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut beberapa ahli, psikologi pendidikan bisa diartikan sebagai berikut:
1. Menurut WS.Winkel Sj
“Psikologi pendidikan adalah ilmu yang mempelajari pra syarat-pra syarat (faktor-faktor) bagi pelajar di sekolah, berbagai jenis belajar dan fase-fase dalam semua proses belajar”.
2. Menurut Richard E. Mayer
“Educational psycology is a branch of psycology concernet with understanding how the instructional environment and the characteristics of the learner interact to produce cognitive growth in the learner”
(Psikologi pendidikan adalah cabang psikologi yang membahas mengenai pemahaman bagaimana lingkungan belajar dan karakteristik pelajar berinteraksi dalam menghasilkan pertumbuhan kognitif dalam diri pelajar).
3. Menurut H.C Whitherington
“Psikologi pendidikan adalah suatu studi yang sistematis tentang proses-proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan manusia”.
4. Menurut Lester. D. Crow dan Alice Crow
“Psikologi pendidikan merupakan suatu ilmu yang berusaha menjelaskan masalah-masalah belajar yang dialami individu dari sejak lahir sampai berusia lanjut, terutama yang menyangkut kondisi-kondisi yang mempengaruhi belajar”. Seperti dikatakan didalam bukunya sebagai berikut:
“Educational psychology dercribes and explains the learning experiences of an individual from birth through old age. Its subject matter is concerned with the conditions that affect learning”.


B. Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan

Telah kita ketahui bahwa pada dasarnya ilmu jiwa pendidikan adalah sebuah disiplin psikologi yang khususnya mempelajari, meneliti, dan membahas seluruh tingkah laku manusia yang terlibat dalam proses pendidikan itu meliputi tingkah laku belajar (oleh siswa), tingkah laku mengajar (oleh guru), dan tingkah laku belajar-mengajar (oleh guru dan siswa yang saling berinteraksi).
Inti persoalan psikologi dalam psikologi pendidikan tanpa mengabaikan persoalan psikologi guru, terletak pada siswa. Pendidikan pada hakikatnya adalah pelayanan yang khusus diperuntukkan bagi siswa. Karena itu, ruang lingkup pokok bahasan psikologi pendidikan, selain teori-teori psikologi pendidikan sebagai ilmu, juga berbagai aspek psikologis para siswa khususnya ketika mereka terlibat dalam proses belajar dan proses belajar-mengajar.
Secara garis besar, banyak ahli yang membatasi pokok-pokok bahasan psikologi pendidikan menjadi tiga macam:
a. Pokok bahasan mengenai “belajar”, yang meliputi teori-teori, prinsip-prinsip, dan ciri-ciri khas perilaku belajar siswa, dan sebagainya.
b. Pokok bahasan mengenai “proses belajar”, yakni tahapan perbuatan dan peristiwa yang terjadi dalam kegiatan belajar siswa.
c. Pokok bahasan mengenai ”situasi belajar”, yakni suasana dan keadaan lingkungan baik bersifat fisik maupun non fisik yang berhubungan dengan kegiatan belajar siswa.
Sementara itu, Samuel Smith sebagaimana yang dikutip Suryabrata (1984), menetapkan 16 topik bahasan yang rinciannya sebagai berikut:
a. Pengetahuan tentang psikologi pendidikan (the science of educational psychology).
b. Hereditas atau karakteristik pembawaan sejak lahir (heredity.)
c. Lingkungan yang bersifat fisik (psychal structure.)
d. Perkembangan siswa (growth).
e. Proses-proses tingkah laku (behavior process).
f. Pembawaaan.
g. Hak dan ruang lingkup belajar (nature and scope of learning).
h. Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar (factors that condition learning).
i. Hukum-hukum dan teori-teori belajar (laws and theories of learnjng).
j. Pengukuran, yakni prinsip-prinsip dasar dan batasan-batasan pengukuran/evaluasi (measurement: basic principle and difinitions).
k. Transfer belajar, meliputi mata pelajaran (transfer of learning subject matters).
l. Sudut-sudut pandang praktis mengenai pengukuran (practical aspects).
m. Ilmu statistik dasar.
n. Kesehatan mental.
o. Kurikulum pendidikan sekolah dasar.
p. Kurikulum pendidikan sekolah menengah.


Mengingat bahwa psikologi pendidikan merupakan ilmu yang memusatkan dirinya pada penemuan dan aplikasi prinsip-prinsip dan teknik-teknik psikologi kedalam pendidikan, maka ruang lingkup psikologi pendidikan mencakup topik-topik psikologi yang erat hubungannya dengan pendidikan.
Studi tentang isi-isi buku psikologi pendidikan telah dilakukan orang, antara lain penelitian terhadap 13 buku yang ditulis para ahli selama kurang lebih 5 tahun yaitu antara tahun 1942-1946 memberi gambaran terhadap kita bahwa ruang lingkup psikologi pendidikan adalah sebagai berkut:
1. Pertumbuhan dan perkembangan pada umumnya.
2. Psikologi anak.
3. Hygiene rokhani.
4. Kecerdasan (intellegensi) dan peniliannya.
5. Perbedaan-perbedaan individu.
6. Hakekat perbuatan belajar.
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbuatan belajar.
8. Soal tranfer dalam belajar.
9. Tes dan soal penilaian atau pengukuran.
10. Teori dasar tentang motivasi.
11. Arti motivation bagi pengajaran.
12. Perkembangan sosial dan emosianal.

Menurut pendapat Lester. D. Crow dan Alice Crow, ruang lingkup pendidikan antara lain:
a. Sampai sejauh mana faktor-faktor pembawaan dan lingkungan berpengaruh terhadap belajar.
b. Sifat-sifat dari proses belajar.
c. Hubungan antara tingkat kematangan dengan kesiapan belajar (learning readiness).
d. Signifikasi pendidikan terhadap perbedaan-perbedaan individual dalam kecepatan dan keterbatasan belajar.
e. Perubahan-perubahan jiwa (inner changes) yang terjadi selama dalam belajar.
f. Hubungan antara prosedur-prosedur mengajar dengan hasil belajar.
g. Teknik-teknik yang efektif bagi penilaian kemajuan dalam belajar.
h. Pengaruh/akibat relatif dari pendidikan formal dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman belajar yang insidental dan informal terhadap suatu individu.
i. Nilai/manfaat sikap ilmiah terhadap pendidikan bagi personil sekolah.
j. Akibat/pengaruh psikologis (psychological impact) yang ditimbulkan oleh kondisi-kondisi sosiologis terhadap sikap para siswa.

C. Metode Psikologi Pendidikan
Metode-metode yang biasa dipergunakan oleh para psikolog termasuk psikologi pendidikan menurut L.D Crow dan Allice Crow Ph.D. adalah sebagai berikut:
1. Introspection
2. Observation
3. Genetic approach
4. Evaluating techniques
5. Experimental method
6. Statistical analysis
1. Metode introspection
Pada masa permulaan para sarjana psikologi memakai pendekatan melalui pengamatan diri sendiri, pengalaman-pengalaman, penilaian terhadap apa yang dirasakannya serta proses berpikir, namun sekarang sebagaimana sarjana psikologi menganggap bahwa pendekatan studi dengan cara ini relatif kurang valid dan reliable, hal ini disebabkan antara lain oleh pribadi orang kadangkala dipengaruhi oleh keadaan emosinya yang menggoyahkan objekvitas tanggapan dan sikapnya terhadap seseorang atau sesuatu diluar dirinya.
2. Metode Observation
Metode ini mendasarkan pada pengamatan terhadap obyek penyelidikan, disertai aktivitas penulisan secara sistematis. Observasi bisa menjadi alat penyelidikan ilmiah bisa memenuhi beberapa syarat sebagi berikut:
a. Mengabdi kepada tujuan-tujuan penyelidikan.
b. Direncanakan secara otomatis.
c. Dicatat dan dihubungkan secara sistematik dan proporsi yang lebih umum.
d. Dapat dicetak dan dikontrol viliditas, reliabilitas dan ketelitiannya sebagaimana data ilmiah lainnya.
3. Metode Genetic Approach
Ada 2 cara yang bisa digunakan oleh para ahli untuk mempelajari pertumbuhan dan perkembangan individu, yaitu:
a. The cross-sectional (horisontal)
b. The longitudinal (vertikal)
Penelitian sejumlah besar individu sebaya dalam tingkat perkembangan yang bermacam-macam untuk memperoleh data yang berhubungan prinsip-prinsip yang pertumbuhan dan perkembangan bisa memakai metode Cross-sectional. Sedang bila ingin menyelidiki individu atau kelompok sejak kanak-kanak misalnya sampai dengan dewasa secara terus-menerus bisa memakai metode longitudinal, namun metode yang disebutkan terakhir ini sangat mahal, sulit dan memakan tempo yang cukup lama.
4. Teknik-teknik evaluasi
Teknik ini meliputi quisionari, alat-alat pengukuran yang distandarkan, interview, case history atau pendekatan klinik.
a. Quisioner
Metode quisioner (angket) dipakai oleh peneliti untuk mengumpulkan data seperti : keyakinan, perasaan, sikap, motivasi dan sejenisnya dengan jalan mengirim daftar pertanyaan kepada orang yang diteliti itu sendiri (langsung) atau kepada seseorang yang diminta menceritakan tentang keadaan orang lain (tidak langsung), kemudian jawaban yang diperoleh dijadikan dasar pengambilan kesimpulan.
b. Alat-alat pengukuran yang distandarisasikan
Alat ini digunakan oleh peneliti dengan jalan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, perintah-perintah tertentu yang telah disesuaikan sedemikian rupa dengan norma-norma yang tepat dan teliti. Alat-alat ini menghendaki:
1. Jawaban yang segera.
2. Orang yang diteliti tidak senantiasa diharapkan mengetahui jawaban-jawaban pertanyaan, juga tidak diberi kesempatan untuk menemukan jawaban yang tepat seluruhnya.
3. Orang yang diteliti hanya diminta untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan pendapat, sikap dan latar belakang yang sudah ada pada dirinya saja.
Alat-alat ini biasanya untuk mengukur intelegensi, tingkat keberhasilan dalam belajar, minat individu, sifat-sifat jasmani dan faktor-faktor yang mempengaruhinya serta hal-hal yang sejenis.
c. Interview
Pengumpulan data dengan tanya jawab secara lisan yang senantiasa mengambil kepada tujuan penyelidikan bisa disebut interview. Ia cukup mampu mengungkap dan menggali tanggapan, pendapat, keyakinan perasaan, motivasi, cita-cita dan sejenisnya baik yang berhubungan dengan masa silam, sekarang dan masa-masa yang akan datang. Dengan alat inilah penginterview yang cekatan dan mahir akan mampu memunculkan sekaligus memahami peristiwa-peristiwa jiwa melalui dari intonasi bahasa, expresi muka gerak-gerik tubuh bahkan sampai dengan keras lambatnya suara dalam percakapan.
d. Case History atau pendekatan klinis
Pendekatan klinis biasanya dipakai untuk menyelidiki sejumlah kecil individu yang berlangsung relative lama, teliti dan mendalam. Ia sering digunakan dalam penelitian-penelitian anak-anak yang tidak normal dengan tujuan mencari faktor-faktor penyebabnya yang selanjutnya mencari dan menentukan cara-cara penyembuhannya. Teknik case history hampir menyerupai pendekatan klinis yaitu objek penelitian sama-sama sejumlah kecil individu, hanya saja teknik case history ini dilakukan secara mendalam, kejadian-kejadian diselidiki secara terus-menerus selama satu periode yang dianggap memadai dan cukup untuk memahami kejadian-kejadian yang sedang diteliti. Segala data yang berhubungan dengan aspek-aspek pendidikan anak dikumpulkan untuk keperluan praktek-praktek pendidikan selanjutnya.
5. Metode Experimen
Penelitian sengaja mengatur situasi-situasi dan kondisi untuk mengamati secara teliti tentang peristiwa-peristiwa jiwa dengan sengaja ditimbulkan. Dengan hal ini peneliti bisa menyusun dua kelompok, kelompok oksperimen dan kelompok control, dari kedua kelompok ini diusahakan mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang sama kecuali hanya faktor yang eksperimental saja. Kelompok control dipakai sebagai berbandingan, seberapa jauh kelompok eksperimen dipengaruhi oleh faktor/pengaruh /independent variable. Sumbangan-sumbangan dari hasil percobaan-percobaan terdahulu seperti Ebbinghaus mengenai fungsi ingatan, Pavlov tentang reflek bersyarat dan lain-lain mempunyai arti penting dalam ilmu jiwa pendidikan.

6. Analisa Statistik
Bila peneliti telah mengumpulkan data dengan lengkap sesuai dengan aturan main penelitian, maka pada gilirannya yang sangat penting adalah menganalisa data dan generalisasi. Sehubungan dengan hal ini peneliti dituntut ketelitian dan kejeliannya, agar hasil penelitiannya dapat dipertanggung jawabkan. Sedangkan statistik telah menyediakan jalan-jalan yang licin dan dapat menuju tujuan tersebut, bila model penelitian dan data yang terkumpul membutuhkannya.



BAB III
ANALISIS

Makalah ini membahas tentang Pengertian Psikologi Pendidikan, dan Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan serta Metode Psiokologi Pendidikan. Dimana makalah ini memaparkan bahwa, Psikologi adalah suatu ilmu yang berusaha menyelidiki semua aspek kepribadian dan tingkah laku manusia, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah, baik secara teoritis maupun dengan melihat kegunaannya di dalam praktek, baik secara individual maupun hubungan dengan manusia lain atau lingkungan.
Sedangkan psikologi pendidikan menurut Lester D. Crow dan Alice Crow merupakan suatu ilmu yang berusaha menjelaskan masalah-masalah belajar yang dialami individu dari sejak lahir sampai berusia lanjut, terutama yang menyangkut kondisi-kondisi yang mempengaruhi belajar. Dan bisa dikatakan psikologi pendidikan adalah psikologi yang diterapkan di dalam pendidikan.
Apapun yang dikemukakan oleh para ahli tentang psikologi pendidikan, dapat disimpulkan bahwa psikologi pendidikan adalah cabang dari psikologi yang dalam penguraian dan penelitiannya lebih menekankan pada masalah pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik maupun mental, yang sangat erat hubungannya dengan masalah pendidikan terutama yang mempengaruhi proses dan keberhasilan belajar.
Selanjutnya yaitu tentang Ruang Lingkup Psikologi Pendidikan. Dimana dalam buku Good and Brophy menguraikan tentang psikologi pendidikan menjadi 6 bagian yang terdiri 16 bab.
Bagian 1 : Menguraikan tentang psikologi dalam hubungannya dengan tugas guru.
Bagian 2 : Manajemen kelas, yang mencakup antara lain :
• Perkembangan dan sosialisasi anak.
• Kepemimpinan dan dinamika kelompok.
• Psikologi eksperimental (menguraikan modeling, reward, punishment, dan extinction).
• Hasil-hasil penelitian manajemen kelas.
• Mengurangi masalah-masalah manajemen melalui persiapan yang baik dan pengajaran yang efektif.
Bagian 3 : Menguraikan masalah belajar, yang meliputi antara lain :
• Pengertian tentang belajar.
• Prinsip-prinsip umum belajar.
 Tipe-tipe belajar.
 Perhatian dan persepsi.
 Transfer dalam belajar.
 Perbedaan-perbedaan individual dalam belajar.
• Model-model dan desain instruksional.
• Prisip-prinsip pengajaran.
Bagian 4 : Pertumbuhan, Perkembangan, dan Pendidikan yang berisi antara lain :
• Prinsip-prinsip perkembangan kognitif.
• Perkembangan fisik.
 Perkembangan kognitif.
 Perkembangan personal dan social.
 Kreativitas.
 Sosialisasi.
• Aplikasi prinsip-prinsip perkembangan ke dalam pendidikan.
Bagian 5 : Mengenai Motivasi, yang meliputi antara lain :
• Pengertian motivasi,
• Perilaku Stimulus-Respon.
• Teori kognitif dan motivasi.
• Disonansi
• Aplikasi motivasi dalam pendidikan dan pengajaran.
Bagian 6 : Prinsip-prinsip evaluasi dan pengukuran, yang mencakup antara lain :
• Macam-macam tes.
• Cara-cara menyusun tes essay dan tes objective.
• Prosedur penilaian.
• Monitoring kemajuan siswa.
• Reliabilitas dan Validits test.
• Penggunaan statistik dalam mengolah hasil tes.
Dari apa yang telah diuraikan diatas, jelas betapa luas bidang garapan yang tercakup dalam psikologi pendidikan itu. Namun demikian, itu memudahkan penguasaannya bagi para mahasiswa, bidang garapan yang sangat luas itu kemudian dibagi-bagi menjadi beberapa mata kuliah; seperti mata kuliah Psikologi Perkembangan, Manajemen Instruksional, Prinsip-prinsip Belajar dan Mengajar, Penilaian Pencapaian Belajar Siswa, dan lain-lain.


Metode-metode yang biasa dipergunakan oleh para psikolog termasuk psikologi pendidikan menurut L.D Crow dan Allice Crow Ph.D. adalah sebagai berikut:
1. Introspection
2. Observation
3. Genetic approach
4. Evaluating techniques
5. Experimental method
6. Statistical analysis


BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Apapun yang dikemukakan oleh para ahli tentang psikologi pendidikan, dapat disimpulkan bahwa psikologi pendidikan adalah cabang dari psikologi yang dalam penguraian dan penelitiannya lebih menekankan pada masalah pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik maupun mental, yang sangat erat hubungannya dengan masalah pendidikan terutama yang mempengaruhi proses dan keberhasilan belajar.

2. Studi tentang isi-isi buku psikologi pendidikan telah dilakukan orang, antara lain penelitian terhadap 13 buku yang ditulis para ahli selama kurang lebih 5 tahun yaitu antara tahun 1942-1946 memberi gambaran terhadap kita bahwa ruang lingkup psikologi pendidikan adalah sebagai berkut:
a. Pertumbuhan dan perkembangan pada umumnya.
b. Psikologi anak.
c. Hygiene rokhani.
d. Kecerdasan (intellegensi) dan peniliannya.
e. Perbedaan-perbedaan individu.
f. Hakekat perbuatan belajar.
g. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbuatan belajar.
h. Soal tranfer dalam belajar.
i. Tes dan soal penilaian atau pengukuran.
j. Teori dasar tentang motivasi.
k. Arti motivation bagi pengajaran.
l. Perkembangan sosial dan emosianal.

3. Metode-metode yang biasa dipergunakan oleh para psikolog termasuk psikologi pendidikan menurut L.D Crow dan Allice Crow Ph.D. adalah sebagai berikut:
a. Introspection
b. Observation
c. Genetic approach
d. Evaluating techniques
e. Experimental method
f. Statistical analysis

B. Saran

1. Agar mahasiswa dapat menerapkan apa psikologi pendidikan itu dalam kehidupannya.
2. Bisa menerangkan apa yang dibahas dalam ruang lingkup psikologi pendidikan.
3. Supaya mahasiswa bisa menerapkan metode-metode psikologi pendidikan dalam suatu pembelajaran.



DAFTAR PUSTAKA


 Dalyono, M., Drs., Psikologi Pendidikan, Rineka Cipta, Semarang: 1996.
 Mustaqim, Drs. H. M. Pd., Ilmu Jiwa Pendidikan, Edisi Revisi, CV. Andalan Kita, Semarang: 2010.
 Purwanto, M. Ngalim, Drs. MP., Psikologi Pendidikan, Cetakan V,Jakarta: 1990.
 Suryabrata, Sumadi, Drs. B. A., M.A.,Ed.S.,Ph. D., Psikologi Pendidikan, Edisi V, PT. Raja Grafindo Persada, Yogyakarta: 2004.